TROL, Sumenep – Proyek pembangunan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumenep, Diduga kuat di korupsi, mega proyek itu menelan anggaran sebesar 100 milyar lebih yang dianggarkan melalui APBD Tahun 2023-2024.
Menurut Hasil analisis Organisasi Demokrasi dan Aspirasi Rakyat Jawa Timur (Dear Jatim) Sumenep menyampaikan bahwa ada dugaan tindak pidana korupsi, terutama terkait dengan proses pembebasan lahan hingga pelaksanaan konstruksi.
Berdasarkan hasil Investigasi yang dilakukan oleh Dear Jatim bertujuan untuk memastikan bahwa dana publik digunakan secara transparan dan akuntabel dalam proyek pembangunan gedung pemerintahan.
Mahbub Junaidi melalui MH. Sutrisno, selaku anggota Dear Jatim, menyampaikan bahwa tim mereka tengah melakukan penelusuran untuk menggali lebih dalam potensi penyalahgunaan anggaran dalam proyek tersebut.
Sutrisno menekankan bahwa penyelidikan ini merupakan upaya untuk menegakkan prinsip transparansi penggunaan anggaran daerah. “Kami sedang mengkaji seluruh laporan keuangan dan dokumen perencanaan proyek ini secara komprehensif,” ujar Sutrisno (7/11).
Salah satu temuan utama dalam investigasi ini terkait dengan pembebasan lahan untuk pembangunan gedung DPRD. Sutrisno mengungkapkan bahwa lahan yang digunakan untuk pembangunan tersebut diduga merupakan lahan pertanian yang seharusnya dilindungi dari alih fungsi. Pengalihan fungsi lahan pertanian untuk proyek gedung pemerintahan dianggap berpotensi melanggar peraturan zonasi dan tata ruang yang berlaku di Kabupaten Sumenep.
“Dari kajian terhadap dokumen RTRW/RDTR, kedua kawasan tersebut sesuai ketetapan RDTR Kota Sumenep merupakan kawasan dengan peruntukan lain, seperti pertanian atau perdagangan dan jasa. Menurut Perpres No. 71 Tahun 2012, perencanaan pembangunan ini melanggar Perda RTRW No. 12 Tahun 2013 Pasal 38,” jelas Sutrisno.
Selain masalah penggunaan lahan, harga pembelian tanah untuk proyek ini juga dipertanyakan. Dear Jatim menilai harga tanah yang diajukan dalam perencanaan proyek tersebut tidak wajar dan berpotensi merugikan keuangan daerah.
Harga yang diajukan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar tanah tersebut. Misalnya, pada tahun 2015, anggaran untuk pembelian lahan sebesar 10 miliar, dengan harga tanah sebesar 250 ribu per meter persegi untuk luas 10.000 m². Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa harga pasar tanah tersebut hanya sekitar Rp 9 miliar 860, sehingga terdapat selisih hampir 300 juta.
Lebih lanjut Sutrisno mengungkapkan bahwa tidak ada dokumen yang menunjukkan survey sosial ekonomi terkait proyek ini. Tidak ada juga sosialisasi, tatap muka, atau publikasi tentang rencana pembangunan tersebut kepada masyarakat, baik melalui media massa maupun platform digital.
“Dokumen yang ada menunjukkan bahwa SK penetapan lokasi hanya dibuat berdasarkan permintaan dari Sekwan melalui surat No. 550/301/435/105/2015, tanpa adanya pemberitahuan kepada publik,”lanjutnya.
Selain itu, pelaksanaan pembangunan fisik gedung DPRD juga menjadi sorotan. Meskipun anggaran yang besar telah dialokasikan, proyek ini baru mencapai progres sekitar 80 persen yang saat ini memasuki masa peneliharaan, sementara dana yang telah dicairkan jauh lebih besar. Hal ini memunculkan kecurigaan adanya ketidaksesuaian antara dana yang tercairkan dan progres fisik proyek tersebut.
Sutrisno menegaskan, Dear Jatim akan terus mengawal kasus ini hingga selesai. Organisasi ini telah mengumpulkan bukti-bukti awal yang cukup untuk melaporkan dugaan penyimpangan anggaran ini ke aparat penegak hukum agar dapat dilakukan penyelidikan lebih lanjut.
Masyarakat Sumenep tentu berharap agar investigasi ini berlangsung dengan transparan dan objektif. Harapan besar agar kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk lebih berhati-hati dalam pengelolaan anggaran publik, serta memastikan bahwa kepentingan rakyat tetap menjadi prioritas utama dalam setiap proyek pembangunan.
(hartono)