Malpraktik Dukun Zaman Kolonial

TROL,- Penyakit gondok di leher membuat mbok Catem, warga desa Singaparna, kecamatan Bumiayu, Brebes, tak bisa tinggal diam. Upaya penyembuhan ditempuhnya dengan mendatangi dukun kampungnya. Di era Hindia Belanda itu, tepatnya pada 1931, kebanyakan orang pribumi lebih mempercayakan kesembuhan mereka pada dukun ketimbang dokter.

Adalah Ahmad yang menjadi dukun kampung tempat mbok Catem tinggal. Koran De Locomotief tanggal 6 Pebruari 1931 menyebut, dukun Ahmad punya keahlian dalam “menyembuhkan kaki dan tangan yang patah, mengusir setan, singkatnya, membuat manusia semakin sakit dan dalam melakukannya bahkan menyembuhkan pasien.”

Kepada dukun Ahmad, mbok Catem pun meminta penyembuhan gondok yang dideritanya. Dukun Ahmad yang yakin bisa menyembuhkan penyakit itu lalu memilih operasi sebagai jalan keluar terbaik buat menyembuhkan gondok itu.

Namun, operasi yang dilakukan Ahmad hasilnya di luar dugaan. Tak hanya membuat gondok mbak Catem hilang, tapi juga menghilangkan nyawa mbok Catem.

Dukun Achmad pun jadi tersangka atas kematian itu. Dia kemudian diperiksa. Tak hanya dia, aparat hukum juga memeriksa lima pasien lain yang telah dioperasi Ahmad tapi tak kehilangan nyawa.

Jenazah mbok Catem sendiri diperiksa oleh dokter yang bertugas di Brebes. Dari hasil pemeriksaan diketahui, mbok Catem meninggal dunia karena pendarahan. Maka Ahmad pun langsung dijebloskan ke penjara.

Namun, kasus itu tak menyurutkan penduduk di manapun untuk mempercayakan penyembuhan pada dukun. Tak hanya di pulau Jawa, tapi juga ketika orang Jawa sudah bermigrasi di pulau-pulau lain. Ini yang terjadi pada keluarga Haji Ibrahim di Lampung.

Haji Ibrahim merupakan warga Gadingrejo, sebuah daerah yang dibuka lewat program kolonsatie alias transmigrasi di Pringsewu dan Gedong Tataan. Tak hanya bersama keluarga intinya, Haji Ibrahim tinggal di sana bersama keponakannya yang –berusia sekitar 17 tahun–mengidap gangguan jiwa. Menurut Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 14 September 1937, keponakannya yang menderita gangguan mental itu bukan tipe “jahat” meski sempat menyerang Haji Ibrahim.

Gangguan mental keponakannya itulah yang mendorong Haji Ibrahim berusaha untuk menyembuhkannya. Dalam suasana seperti itu, sampailah ke telinganya kabar tentang seorang dukun “ampuh” yang tinggal di Teluk Betung (kini Bandar Lampung). Maka Haji Ibrahim pun memanggil sang dukun untuk menyembuhkan keponakannya tadi.

Dukun dari Teluk Betung itu seorang laki-laki yang sudah lanjut usia. Kepada Haji Ibrahim si dukun lalu meminta beberapa jenis barang untuk obat, yakni sekumpulan jerami padi dan bongkahan belerang. Si keponakan itu lalu ditinggalkan bersama dukun.

Setelah membakar jerami padi dan membiarkan apinya membara hingga menghasilkan banyak asap, si dukun menabur potongan-potongan kecil belerang ke dalam api itu. Seperti dukun lain, dukun ini juga membacakan mantra andalannya, yang umumnya tak dimengerti oleh pasiennya. Dukun itu lalu menepuk-nepuk si keponakan Haji Ibrahim tadi.

Dukun itu lalu minta bantuan orang lain untuk membuat si pasien duduk jongkok dan dengan wajah menghadap asap yang mengandung belerang tadi. Tindakan pengobatan menghadapkan wajah ke belerang itu berlangsung lama hingga keponakan Haji Ibrahim pingsan menghirup asap belerang. Setelahnya, si keponakan dibaringkan lalu ditinggalkan sang dukun.

Orang-orang yang berada dekat pasien yang pingsan itu menjadi cemas. Tak hanya karena si dukun tak kunjung kembali ke kepada pasiennya, tapi juga lantaran kesadaran si pasien tak pernah kembali. Si pasien ternyata meninggal dunia dalam keadaan lemas.

Pihak keluarga mulanya tak ingin melaporkan kematian keponakan Haji Ibrahim itu. Namun, polisi keburu datang menyelidiki.

Tak diketahui secara pasti bagaimana akhir kasus tersebut dan nasib si dukun. Yang pasti, kasus-kasus seperti itu tak terhitung jumlahnya di seantero Hindia Belanda. Di Malang, Jawa Timur, misalnya, kasus serupa juga terjadi pada 1930. Koran Soerabaijasch Handelsblad tanggal 21 November 1930 memberitakan kasus seorang perempuan yang mengalami ganguan jiwa dibawa ke dukun pula. Oleh dukun, si pasien diikat tangannya lalu dibenamkan ke dalam air. Setelah dinaikkan dari air kembali, rupanya si pasien sudah meninggal dunia. polisi lagi-lagi datang memeriksa.(*)

*historia.id edisi 14 mei 2024 -petrik matanasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *