foto : ilustrasi/ist
TROL, Jakarta – Ahli waris mendiang Sultan Sulu meminta pengadilan Den Haag menyita aset Malaysia di Belanda untuk mengesekusi putusan arbitrase senilai US$15 miliar (227 triliun – rupiah) yang diberikan kepada mereka sebagai kompensasi yang harus dibayar pemerintah Malaysia.
Petisi di Pengadilan Banding Belanda merupakan eskalasi dari perselisihan lama atas kesepakatan tanah era kolonial yang mengancam aset global pemerintah Malaysia dan perusahaan milik negara.
Pemerintah Malaysia, yang mengatakan tidak mengakui klaim ahli waris Sultan Sulu, tidak segera menanggapi permintaan komentar atas petisi Belanda ini.
Pengadilan arbitrase Prancis pada bulan Februari 2022 lalu memerintahkan Malaysia untuk membayar sejumlah 15 miliar dolar AS – nilai arbitrase terbesar kedua dalam catatan – kepada keturunan Sultan Sulu terakhir.
Malaysia memperoleh penundaan putusan sambil menunggu banding, tetapi putusan itu tetap dapat ditegakkan di luar Prancis di bawah perjanjian PBB tentang arbitrase internasional.
Ahli waris sultan, yang pernah menguasai wilayah mencakup pulau-pulau di Filipina selatan dan sebagian pulau Kalimantan, meminta pengadilan Belanda untuk mengakui dan menegakkan putusan arbitrase tersebut.
Ahli waris ingin menyita aset Malaysia di Belanda, menurut salinan petisi pengadilan yang dibagikan oleh pengacara mereka.
“Pengajuan di Belanda ini akan segera diikuti oleh tindakan penegakan hukum lainnya, dari berbagai jenis, di berbagai yurisdiksi,” kata pengacara Paul Cohen, penasihat utama ahli waris sultan dari firma hukum Inggris 4-5 Gray’s Inn Square.
Beberapa perusahaan terbesar Malaysia beroperasi di Belanda, termasuk perusahaan minyak negara Petronas dan produsen minyak sawit Sime Darby Plantations.
Pada bulan Juli, dua anak perusahaan Petronas yang berbasis di Luksemburg disita oleh petugas pengadilan sebagai bagian dari upaya ahli waris mengklaim keputusan arbitrase tersebut.
Petronas, yang menggambarkan penyitaan Luksemburg sebagai “tidak berdasar”, mengatakan akan mengambil tindakan hukum untuk mencegah upaya penyitaan aset mereka di 44 negara.
Perselisihan itu berawal dari kesepakatan yang ditandatangani pada 1878 antara dua kolonial Eropa dan sultan atas penggunaan wilayahnya di Malaysia saat ini – sebuah perjanjian yang dihormati oleh Malaysia merdeka hingga 2013, dengan cara membayar ke keturunan raja sekitar US$1.000 (15 juta-rupiah ) per tahun.
Namun Kuala Lumpur menghentikan pembayaran setelah serangan berdarah oleh pendukung mantan kesultanan yang ingin merebut kembali tanah dari Malaysia.
Ahli waris Sultan Sulu membawa masalah penangguhan pembayaran itu ke pengadilan arbitrase dan dimenangkan. Malaysia sendiri tidak mengakui arbitrase.
Jumlah gugatan keturunan Sultan Sulu ini hampir seperempat dari anggaran negara Malaysia 2022 sebesar 1.086 triliun rupiah.
Ini terjadi setelah Malaysia diduga melanggar perjanjian tahun 1878 yang ditandatangani oleh Sultan Jamal Al Alam, Sultan Sulu, Baron Overbeck dan pendiri British North Borneo Company, Alfred Dent.(*).
*sumber : tempo.co”Keturunan Sultan Sulu Tuntut Malaysia Bayar Ganti Rugi Rp227 Triliun, Ini Masalahnya. “,edisi Jumat, 30 September 2022