Oleh: Rudi Hartono
Trans Indonesia Sumenep
TROL, – Penemuan 38 kilogram narkoba jenis sabu-sabu di perairan Masalembu, Kabupaten Sumenep, baru-baru ini mengejutkan publik.
Bukan oleh aparat penegak hukum, melainkan oleh nelayan yang tengah menjalankan aktivitas rutinnya mencari ikan, temuan ini membuka ruang refleksi besar terhadap fungsi dan efektivitas aparat kepolisian, khususnya unit Reserse Narkoba (Reskoba) Polres Sumenep.

Dalam gelaran konferensi pers, publik dikejutkan oleh kehadiran Reskoba Polres Sumenep di barisan terdepan. Sikap ini, alih-alih menambah kepercayaan publik, justru menimbulkan kesan bahwa unit Reskoba sekadar “numpang tenar” atas kerja keras nelayan.
Seolah lupa bahwa yang menemukan barang haram ini bukan aparat yang bersangkutan, melainkan warga sipil yang seharusnya justru mendapatkan apresiasi dan perlindungan.
Pujian dan pencitraan seharusnya diberikan kepada nelayan yang telah berani melaporkan temuan besar tersebut.
Keberanian mereka menunjukkan betapa masyarakat sipil bisa menjadi garda terdepan pemberantasan narkoba, ketika aparat justru terlihat seperti sedang tertidur. Bukannya berintrospeksi, Reskoba Polres Sumenep malah tampil di panggung seolah aktor utama.
Yang lebih memprihatinkan adalah kenyataan bahwa struktur personel Reskoba di Polres Sumenep tidak banyak berubah sejak beberapa tahun terakhir.
Bahkan ketika tongkat kepemimpinan Kapolres telah berganti beberapa kali, personel di unit tersebut tetap tidak mengalami rotasi. Ini menimbulkan kecurigaan publik akan adanya “zona nyaman” yang dibiarkan tumbuh liar. Seperti sebuah dinasti kecil yang sulit digoyang, unit ini seolah anti evaluasi.
Bukan hanya stagnasi struktur yang patut disorot, tetapi juga minimnya capaian pengungkapan kasus narkoba di sumenep. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus-kasus narkotika yang diungkap Reskoba Polres Sumenep lebih banyak menyasar pengecer kecil.
Barang bukti pun hanya berkisar dalam hitungan gram, jauh dari puluhan kilogram yang ditemukan nelayan.
Apakah ini cerminan lemahnya intelijen, atau ada kepentingan yang bermain di balik layar?
Pertanyaan besar kemudian muncul: mengapa bandar besar nyaris tak pernah tersentuh, sementara pengecer kecil kerap dikorbankan?
Dalam logika sederhana, pasar narkoba tidak akan hidup tanpa pemasok utama. Jika pengecer kecil terus-menerus ditangkap sementara jaringan atasnya tak tersentuh, maka ini membuka peluang dugaan bahwa ada pembiaran sistematis yang terjadi.
Tak sedikit masyarakat yang kemudian mulai berpikir kritis: mungkinkah ini bagian dari permainan lama yang terus diulang? Bandar besar dijaga agar roda bisnis tetap berputar, sementara pengecer kecil dijadikan tumbal untuk menunjukkan kinerja aparat.
Jika demikian, maka yang menjadi korban bukan hanya para pengguna narkoba, tetapi juga integritas institusi kepolisian itu sendiri.
Sudah saatnya institusi Polri, khususnya Polda Jawa Timur, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap struktur dan kinerja Reskoba Polres Sumenep.
Jika perlu, lakukan mutasi dan rotasi demi menyegarkan unit yang mulai kehilangan kepercayaan publik.
Transparansi dan akuntabilitas adalah hal yang mutlak dalam penegakan hukum, apalagi dalam kasus narkotika yang menyangkut masa depan generasi bangsa.
Masyarakat juga harus dilibatkan secara aktif dalam pengawasan dan pelaporan. Apa yang dilakukan nelayan Masalembu adalah bukti bahwa warga punya andil besar dalam memberantas narkoba.
Namun upaya warga ini akan sia-sia jika aparat hanya sibuk mencari panggung dan menutupi kelemahan dengan pencitraan.
Kasus 38 kg sabu di Masalembu adalah alarm keras. Jika tidak segera ditanggapi dengan serius dan profesional, bukan tidak mungkin publik akan kehilangan kepercayaan sepenuhnya.
Dan ketika kepercayaan itu hilang, maka lembaga hukum akan lumpuh oleh krisis legitimasi yang lebih berbahaya dari narkoba itu sendiri.