Singkong Makanan Rakyat Yang Berjasa di Masa Gelap

foto : singkong

Singkong adalah perlambang identitas. Dalam lagu pop tahun 1980-an, singkong dilambangkan anak kampung yang berbeda dengan keju, anak kota.

Di sebagian Afrika, hanya butuh dua abad saja buat singkong untuk menjadi makanan pokok. Sementara di Asia, singkong juga andalan para petani, karena tanaman ini tahan kering dan bisa ditanam di lahan yang kurang subur sekalipun.

Di Brasil, pada abad ke-16, singkong jadi makanan pokok para budak dan tuannya. Tersedia melimpah di alam, singkong jadi andalan para budak yang melarikan diri.

Inilah yang membuat sejarawan mengaitkan singkong dengan perlawanan mengakhiri perbudakan di negara itu.

Di Nusantara butuh waktu lama singkong menyebar terutama ke pulau Jawa. Diperkirakan singkong kali pertama diperkenalkan di suatu kabupaten di Jawa Timur pada 1852. “bupatinya sebagai seorang pegawai negeri harus memberikan contoh dan bertindak sebagai pelopor. Kalau tidak, rakyat tidak akan mempercayainya sama sekali,” tulis Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen dalam Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia.

Namun hingga 1876, sebagaimana dicatat H.J. van Swieten, kontrolir di Trenggalek, dalam De zoete cassave (Jatropha Janipha) yang terbit 1875, singkong kurang dikenal atau tidak ada sama sekali di beberapa bagian pulau Jawa dikutip Creutzberg dan van Laanen.

Sekira 1875, konsumsi singkong di Jawa masih rendah. Baru pada permulaan abad ke-20, konsumsinya meningkat pesat. Pembudidayaannya juga meluas. Terlebih rakyat diminta memperluas tanaman singkong mereka.

Peningkatan penanaman singkong sejalan dengan pertumbuhan penduduk pulau Jawa yang pesat. Ditambah lagi produksi padi tertinggal di belakang pertumbuhan penduduk. “Singkong khususnya menjadi sumber pangan tambahan yang disukai,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia V

Singkong Yang Berakar Hingga Jauh.

Aslinya, singkong berasal dari Amerika Selatan dan telah dibudidayakan selama 5 ribuan tahun. Sebatang pohon singkong bisa menghasilkan akar yang beratnya mencapai 20 kilogram.

Karbohidrat yang dikandungnya terjaga dengan sempurna di bawah tanah. Bebas dari predator dan serangga berkat kulit tebal yang mengandung racun sianida.

Untuk menetralkan racun, akar mesti dikupas, direndam, dibakar, dimasak, atau difermentasi dulu agar bisa dikonsumsi.

Singkong disajikan saat seorang ketua suku di kepulauan Karibia menyajikan makanan mewah kepada Chistopher Colombus pada 26 Desember 1442.

Dan sisanya adalah sejarah. Orang Eropa membawa singkong, bersama cabai, kentang, tomat, dan lain-lain, ke wilayah koloninya di Afrika dan Asia.

Lumbung Pangan Bawah Tanah

Di Indonesia (Nusantara) singkong mungkin tiba bersamaan dengan kehadiran penjelajah Eropa. Tapi tak banyak sumber yang menyebutkan soal budi dayanya.

“Pertengahan abad ke19, di Demak ada kelaparan. Itu wabah yang luar biasa. Habis itu, tahun 1850-an seluruh residen Jawa dan Palembang dikumpulkan untuk diperkenalkan dengan sebuah tanaman, itulah singkong,” kata Haryono Rinardi sejarawan Universitas Diponegoro Semarang, penulis buku Politik Singkong Zaman Kolonial.

Singkong diperkenalkan sebagai jalan keluar dari krisis pangan. Tapi nyatanya, singkong malah lebih moncer sebagai komoditas dagang.

Hindia Belanda jadi produsen utama dunia. Tepung singkong diekspor untuk pangan, pakan ternak, lem, hingga industri kain.

“Di Prancis, gaplek diolah untuk menjadi minuman untuk pengganti anggur,” ujar Haryono.

Singkong Tampil Pada Masa Krisis.

“Ada lonjakan produksi ubi kayu yang luar biasa ketika kita menghadapi krisis. Krisis pertama itu ketika Perang Dunia I. Kita kena blokade Jerman,” lanjutnya.

“Pedesaan Jawa menanggung beban karena pulangnya pekerja dari Sumatra Timur ke pedesaan. Itu kan butuh tanaman pangan yang mau tak mau bisa dimakan. Saat itulah ubi kayu nilai produksinya tinggi.”

Pinjam-Meminjam Identitas

Di Jawa, singkong tak cuma jadi pangan pangan alternatif selain padi, tapi juga sumber kreativitas camilan yang awet hingga sekarang dan jadi ciri khas daerah – menjadi identitas.

Jika mampir ke kota Surakarta, ada panganan khas yang disebut lenjongan. Dan di pasar Gede Solo ada penjaja camilan yang legendaris ini: ‘Lenjongan Yuk Sum’.

Berbagai bentuk, warna, dan ukuran singkong yang telah diolah hingga memanjakan mata dan air liur.

“Itu jongkong. Cenil (juga) dari singkong. Tiwul dari singkong. Sawut dari singkong. Gatot dari singkong. Getuk dari singkong,” kata Yuk Sum yang telah berjualan di sana mulai dari 13 tahun.
.”Υ
Memuliakan Singkong

Di Kampung Adat Cirendeu, tak jauh dari pusat kota Cimahi, Jawa Barat, singkong bukan semata-mata soal makan dan kesehatan.

“Ketika kita menanam, memanen, tidak asal nanam tidak asal manen. Sebelum manen kita ada Sanduk Papalaku atau berdoa, dengan membawa sesaji ke kebun singkong.

“Minta izin untuk dipanen,” kata Kang Yana, salah satu anak muda yang dipercaya tetua kampung untuk menjadi semacam humas Kampung Adat.

“Di sini kita lebih dikenal secara luas sebagai masyarakat adat Sunda Wiwitan. Kami dianggap unik oleh masyarakat di luar Cirendeu. Kalau kami biasa saja sebenarnya, karena kebetulan singkong menjadi makanan pokoknya,” sebut kang Yana.

Warga Kampung Adat Cirendeu pada awalnya makan nasi. Tapi penjajahan dan perampasan bahan pangan memaksa para tetua berinovasi demi menyelamatkan adat.

“Jadi menurut para Pupuhu, kejadian tahun 1918 membuat sebuah upaya baru dari para tokoh untuk beralih (dari beras).”

Setelah uji coba enam tahun barulah mereka menemukan apa yang disebut rasi atau beras singkong. Rasi kering ini mampu bertahan lebih dari satu tahun jika disimpan dengan benar.

Rasi kini sudah ditetapkan jadi warisan budaya tak benda oleh pemerintah.

Singkong tak boleh ditanam di sembarang tempat, apalagi sampai merambah hutan larangan, itu dipegang teguh oleh warga Kampung Adat Cirendeu.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengeluarkan Surat Edaran No 10 Tahun 2014 agar semua instansi pemerintahan menyediakan makanan lokal, seperti singkong. Menurut Yuddy, selain untuk menghargai petani dan merangsang orang bercocok-tanam, makan singkong juga tak berpotensi besar menimbulkan penyakit. Kebijakan ini mulai berlaku 1 Desember 2014.(winarto – pimpinan redaksi)

* sumber cnnindonesia, hystoria

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *