Opini  

Cak Fauzi Wong Endi
Oleh : Fauzi As Lembar XVII

Cak Fauzi Wong Endi
Foto: Fauzi As.

Cak Fauzi, ngaturaken sugeng tanggap warsa Nisfu Syaban 1444 H. Saporaan pompong gik bada karena omor. Madura bukan Jawa, Lora Fauzi, Taretan Fauzi, Gus Fauzi, Cak Fauzi, atau panggilan apapun yang disematkan pada Bupati Sumenep tak membuat berubah rekam jejakmu.

APBD Bukan, “Anggaran Personal Branding Dadakan” 

Memasuki tahun 2023 ini, linimasa media sosial seolah mengalami banjir bandang, menghanyutkan sumpah dan sampah birokrat menyamarkan penderitaan rakyat, penerimaan penghargaan dan prestasi Achmad Fauzi, alias Taretan Fauzi, alias Lora Fauzi, alias Cak Fauzi, sebagai Bupati Sumenep, terpublis secara massif.

Angka Membuntukan Logika

Saya membaca artikel yang menulis kegiatan Dahlan Iskan di FIFGROUP Jakarta. Dahlan membuka pemaparan materinya menyampaikan “Wartawan itu profesi, bukan disebut pekerjaan, karena memiliki otonomi untuk melakukan atau tidak melakukan, menulis atau tidak menulis.”

“Karena otonomi itulah, makanya wartawan terkadang cenderung arogan, sehingga untuk mengontrolnya yaitu dengan kode etik.”

Contoh kasus pada 04/12/2022 lalu, di mana sejumlah media memberitakan tentang adanya Cafe, Rumah makan di Sumenep yang menjual miras dan sudah tertangkap tangan oleh petugas berwenang, lalu tidak berselang lama muncul lagi pemberitaan yang memberitakan bahwa tidak benar Cafe itu menyediakan minuman keras, padahal dokumentasi foto dan video sudah bertebaran di beberapa WAG.

Benar saja pesatnya pertumbuhan media, dunia pers sedang menghadapi tantangan berat, salah satu modal terpenting yang perlu dijaga adalah integritas dan kejujuran nurani. Jika ada wartawan yang tidak bisa menjaga integritas, bisa saja ia hanya menghamba pada uang dan tuan yang membayarnya.

Saya membayangkan seandainya ada penghargaan yang dibeli dari APBD atau dari uang pribadi, apakah akan ada yang berani menulisnya? atau memilih diam tanpa telinga?

Saya hanya menulis pengalaman pribadi pada tahun 2019 lalu saya sempat ditawari menjadi salah satu penerima piala penghargaan. Ya seolah sebagai tokoh berpengaruh lah hehehe…dan disuruh menyiapkan sejumlah uang.

Saya langsung bertanya pada teman yang menawarkan itu, bagaimana cara saya menjelaskan tentang piala itu jika suatu saat saya ditanya oleh anak cucu saya?

Kan tidak mungkin saya mengatakan piala itu saya beli dari Pasar Bangkal, atau dibeli pada ajang …Award misalnya?

Tulisan ini hanya sebagai pilihan berita dalam lembar berbeda, tentu nuansanya lain dari brosur penguasa dengan nilai ratusan juta.

Bupati Sumenep yang menjabat sejak tahun 2021 lalu dicitrakan sebagai pemimpin yang sukses menjalankan roda pemerintahan, penghargaan demi penghargaan terus diterimanya, angka kemiskinan menurun angka pengangguran terus menurun, promosi dan publikasi seolah menjadi bumbu penyedap rasa, aromanya menyeruap menyengat hidung memedihkan mata.

Surplus Legalitas Krisis Legitimasi

Banyaknya penghargaan yang diperoleh dengan prestasi harusnya membuat penguasa percaya diri. Jika tidak, maka wajar harus ditambal dengan brosur-brosur promosi.

Kabar burung mengatakan kontrak satu OPD dengan satu perusahaan media, dalam satu bulan ini saja dapat menelan anggaran hingga Rp 60 juta. Belum OPD lainnya, bisa saja satu media mendapat Rp 240 Juta. Tapi begitulah daripada menambal jalan di kepulauan lebih berguna menambal kulit kekuasaan yang penuh luka.

Terakhir saya menulis tentang dua bapak miskin perkotaan yang berjarak tidak terlalu jauh dari rumah dinasnya. Setelah itu baru Dinas Sosial turun, Baznas juga turun, untuk sekadar mengantarkan amplop, beras dan mie instan.

Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un, bagaimana warga Sumenep yang meninggal terbakar berpelukan di Jakarta? Apakah sudah ketahuan identitasnya? Siapakah keluarganya? Siapa saja Rekan Pers yang sudah investigasi? Kita tunggu dibungkus seperti apa nantinya!

Dalam pikiran saya selalu muncul di mana letak perbaikan yang dilakukan oleh Bupati Sumenep, publik kemudian membandingkan lagi dengan kepemimpinan sebelumnya, dan obrolan warung kopi kembali menyimpulkan pemerintahan sekarang justru lebih buruk dari sebelumnya. Adanya isu tentang monopoli proyek yang dikomandani trio wekwek (istilah Hambali Mata Madura) tidak terjadi pada periode bupati-bupati sebelumnya.

Kelaparan yang hampir dialami oleh masyarakat Masalembo mencerminkan lemahnya perhatian pemerintah daerah terhadap kehidupan masyarakat kepulauan. Otak saya tidak paham ada sejumlah oknum media yang memberitakan Bupati Sumenep gerak cepat, ya cepat dalam memberikan statemen di media.

Lalu bagaimana dengan dana bagi hasil migas yang dijanjikan?

Apakah sudah mulai dinikmati masyarakat kepulauan?

Beberapa waktu lalu saya pun menulis tentang pulau terpulaukan. Bagaimana masyarakat pulau bisa menikmati infrastruktur, sedang kebutuhan pangan saja tidak dapat diantisipasi.

Janji Bupati Sumenep disaat sudah menjabat pun seperti menyisakan bau amis, penuh kudis membekas dalam wajah birokrasi yang dipimpinnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *