Opini  

DIKDIK SANG PENJAHAT

Foto: Sulaisi Abdurrazaq

Oleh: Sulaisi Abdurrazaq

DIKDIK itu bajingan, berlagak bersih dan anti korupsi. Padahal, dia penjahat, pemeras, penyalahguna narkoba, cerai karena ajak istrinya menghisap sabu.

Hidup si Dikdik mewah, hasil memeras dengan baju aktifis. Ia tinggal di Kota, bergaul dengan penjahat-penjahat lainnya.

Kita tahu, mentari tak pernah terlambat bangun pagi. Hari itu, pagi berkilau, ada senyum yang menambat harapan untuk hidup lebih cerah.

Begitu gorden disingkap, cahaya memaksa masuk, menembus kaca jendela, terbentur dinding ruang tamu.

Kang Mus menepi di ujung meja, dekat jendela, merogoh saku, meraih korek api dan menyulut sebatang rokok yang terselip di bibir.

Ada ambisi yang mengganggu dada Kang Mus, proyek 3 Milyar APBD Kota Keris 2013, ingin dia rengkuh.

Setelah dipecat jadi polisi, profesinya guru, sekaligus aktifis LSM dengan reputasi gelap.

Kepribadiannya mengalami split personality, berdarah dingin tapi kadang emosional dan meledak-ledak.

Serakah, tapi ingin dipuji, ingin terlihat paling hebat dan ditakuti, obsesif, ngotot dan menganggap hanya dirinya yang terhebat. Dikdik patuh pada Kang Mus.

Kang Mus dan Dikdik sama saja. tamak dan serakah. Jahat dan licik. Pemeras, berlagak aktifis, kadang berbaju pengacara. Segala cara, asal bisa sukses memeras.

Dua binatang berakal itu hanya puas dengan perampasan materi, kemewahan, dan keinginan serupa. Siap berbenturan untuk mendapat keinginannya.

Semacam cermin dari konsep “hak kodrat yang bersifat konfliktual” sebagaimana penjelasan Thomas Hobbes tentang sifat manusia dalam keadaan alamiah.

Dikdik dan Kang Mus, cenderung digerakkan oleh kesombongan dan terdorong oleh pikiran bahwa ia bisa mencapai keunggulan yang didambakan.

Hobbes memang benar, sudah menjadi sifat manusia mendambakan superioritas, kekuasaan, kemuliaan dan kehormatan. Tak peduli dengan cara apapun. Menipu dibutuhkan jika mungkin berhasil.

Jemari Kang Mus menyambar meja, menggenggam android dan memanggil:

“Dik, ke rumahku kau ya, sekarang, cepat…” 

Kang Mus tak memberi waktu Dikdik menjawab, panggilan langsung ditutup.

Tak lama, Dikdik menemui Kang Mus, masuk tanpa dipandu ke ruang tamu.

“Dik, aku butuh duit, mau beli proyek APBD Kota Keris anggaran 2013. Kau bisa bantu nggak?”. Sergah Kang Mus to the point.

“Berapa Kang?” tanya Dikdik dengan wajah agak menjulur.

“Anggaran proyeknya 3 Milyar, kita hanya perlu DP 10%, butuh sekitar 300 juta.”

Dikdik menurunkan pandangan matanya, menarik wajahnya agak mundur, mengisyaratkan keterbatasan. Situasi hening sejenak.

Kang Mus sesekali terlihat menghisap rokok dalam-dalam, menyemburkan asap perlahan, seirama dengan nafas yang keluar.

Dikdik tiba-tiba memecah suasana. “Kang Mus punya sertipikat tanah gak?”

“Ada. Sertipikat rumah yang aku tempati ini”. Kata Kang Mus menimpali.

“Bagaimana kalau kita tawarkan saja ke Pak Sugik. Dia kan pengusaha properti Kang. Jaminkan aja sertipikat Akang. Tapi jangan bilang Akang yang mau beli, harus meyakinkan bahwa kita mau jual proyek itu ke dia, supaya dia mau bayar 10% ke kita”.

Kang Mus masih tercenung, sepakat dengan Dikdik, tapi masih mencari ide agar dapat cara paling elegan.

“Gini aja Dik. Kau yang datang ke Pak Sugik, kau yang meyakinkan dia, jaminkan saja sertipikat rumahku. Begitu duit kita dapat, nanti aku bisa tarik paksa sertipikat itu, alasannya, aku tidak pernah memberi persetujuan. Kalau dia maksa, kan bisa kita pidanakan.”

Dikdik mendadak sepakat ide Kang Mus. Mereka tersenyum lebar dengan gigi tampak mengkilap. Tak kuasa menyusutkan beludak kegembiraan.

SIANG itu, gugusan awan yang saling telungkup mulai tercerai, angin kian semilir, jalanan bising.

Dikdik beraksi, bergeser ke kantor Pak Sugik dengan penampilan parlente, pasang wajah sumringah dan senyum merekah.

Libido Dikdik meningkat, ia tanggalkan ego dan superego. Tenggelam di alam bawah sadar, tak hirau realitas, tak peduli nilai moral dan etika. Diperdaya keserakahan dan hasrat kaya tak wajar.

Sigmund Freud, seorang psikoanalisis  berpendapat, libido/id adalah bagian primitif-instingtual dari pikiran, berisi dorongan agresif, serakah, tamak, seksuil dan ingatan tersembunyi.

Menurutnya, ego adalah keadaan sadar, id adalah ketidaksadaran, dan superego adalah kerangka moral atau etika yang mengatur bagaimana ego beroperasi.

Pak Sugik pengusaha properti sukses, suka membantu, menolong dan rajin sedekah, mudah memaafkan dan sangat mudah iba.

Dikdik diterima di ruang tamu kantor Pak Sugik. Disuguhi minuman dan aneka kue yang terpajang di meja tamu.

Satu orang pekerja menyapa Dikdik, bersalaman sekadar say hello. Pekerja lainnya bersih-bersih kursi kantor.

Dikdik presentasi dengan meyakinkan. Menawarkan proyek 3 Milyar APBD Kota Keris tahun 2013. Ia tawarkan cahaya terang.

Pak Sugik tak memberi sikap curiga sedikitpun, karena setahu Pak Sugik, Dikdik orang baik.

Dikdik menyodorkan jaminan sertipikat atas nama Kang Mus. Pak Sugik kenal Kang Mus, tak mungkin berbuat jahat.

Begitu mencermati sertipikat, Pak Sugik yakin itu asli. “Apa saja syaratnya?” Tanya Pak Sugik penasaran.

“Cukup bayar 10% dari total 3 Milyar aja Pak.” Jawab Dikdik simpel.

“Saya belum punya fresh money, hanya ada 10 juta di rekening dan satu mobil Honda Civic tahun 2009 seharga 240 juta. Hanya itu yang saya punya”

“Ga apa-apa Pak, sudah cukup itu.”

Dikdik sodorkan rekening dengan mata berbinar-binar, penanda rencana jahat sukses, tak ada kendala sedikitpun. Pak Sugik terperdaya.

Dua orang itu bubar sejenak, adzan Jum’at berkumandang. Punggung Dikdik tampak kabur, jejaknya ditinggal di kantor Pak Sugik.

Sekira pukul 14.40, Dikdik datang lagi, dengan tanpa sedikitpun curiga, Pak Sugik mentransfer 10 juta ke rekening istri Dikdik, lalu memberikan kunci berikut STNK dan BPKB mobil ke Dikdik.

Pak Sugik menyimpan sertipikat tanah+rumah milik Kang Mus. Tak ada firasat dan rasa hati yang terlupa, meski sebutir debu.

WAKTU berlalu, 2013 telah pergi. Pak Sugik mulai was was, curiga bercampur tak percaya. Sesekali meminta Dikdik mengembalikan duit dan/atau mobilnya. Tak digubris.

Suatu kali, Pak Sugik minta bantu pengacara untuk menagih. Tak ditemui pula. Akhirnya, Pak Sugik yakin, ia telah ditipu. Tapi akan memilih diam.

Kang Mus dan Dikdik menyusun rencana, menjerat Pak Sugik ke ranah pidana. Tahun 2015 Pak Sugik diadukan ke Polda Jatim, lewat tangan pihak lain, bukan Dikdik, bukan Kang Mus. Mereka kerja cantik.

Tahun 2016, Kang Mus temui Pak Sugik, meminta sertipikat miliknya dikembalikan.

Pak Sugik terpojok, karena tak ada bukti persetujuan tertulis dari pemilik sertipikat yang dijaminkan Dikdik.

“Lalu bagaimana kalau nanti Dikdik minta sertipikat itu ke saya, sementara Dikdik sudah terima 10 juta dan mobil Honda Civic 2009 dengan harga 240 juta?” . Tanya Pak Sugik dengan kening mengernyit.

“Dikdik dan saya satu tim, dia urusan saya.” Jawab  Kang Mus dengan tegas.

Kang Mus tak ingin Pak Sugik curiga bahwa dirinya menyimpan dusta, ia sodorkan duit 150 juta, lalu berkata, “sertipikat saya ambil, ini saya berikan 150 juta.”

Pak Sugik tak berontak, ia ikuti saja alurnya. Hanya sebal tersembunyi di balik dada, belum tahu bagaimana cari meminta 100 juta agar kembali.

Kang Mus dan Dikdik berhasil mendapat keuntungan dari menipu Pak Sugik. Berhasil pula mendepak Pak Sugik ke ranah Pidana Korupsi lewat tangan Polda Jatim.

Sebagai mantan polisi, jaringan Kang Mus cukup baik, tapi juga kasar.

Jika Polisi tak ikut hasratnya, diadukan ke Mabes Polri. Akhirnya, tak ada jalan lain bagi penyidik, mengikuti kehendak Kang Mus dan Dikdik, dengan segala risiko.

Kang Mus dan Dikdik tak menyadari potensi butterfly effect dari perbuatan jahatnya. Mereka mengira, Pak Sugik sapi perah, ambil susunya, jika tak produktif, sembelih.

Edward Norton Lorenz menemukan efek kupu-kupu (butterfly effect) sebagai landasan teori kekacauan tahun 1961.

Kejahatan kecil yang dilakukan Dikdik dan Kang Mus tahun 2013 memiliki efek kupu-kupu sehingga Dikdik terbentur kasus pencemaran nama baik di Polres Sumenep. Status Dikdik Tersangka.

Efek kupu-kupu lainnya, Dikdik kini dilaporkan Pak Sugik ke Polres Sumenep dengan tuduhan penipuan dan penggelapan.

Belum lagi, sedang disusun rencana laporan lain atas peristiwa fitnah terhadap saksi-saksi di suatu Pengadilan yang dikatakan bohong oleh Dikdik dan disiarkan melalui beberapa media online.

Mata batin publik akhirnya melihat, bahwa Dikdik dan Kang Mus adalah penjahat. Menggunakan orang lain untuk menyeret Pak Sugik ke ranah Tipikor, bukan untuk tujuan hukum, melainkan dilatari sakit hati karena Dikdik dan Kang Mus ditagih duit terus oleh Pak Sugik.

Kejahatan Dikdik akan diuji lewat beberapa kasus yang membelit dirinya. Dari kejahatan-kejahatan Dikdik dan Kang Mus itu, Pak Sugik berharap kedepan akan menuai angin tornado yang dapat menyeret siapapun terlibat menjahati Pak Sugik.

Pak Sugik meringkuk, para penjahat juga harus meringkuk.

Itulah butterfly effect. NO CRIME IS PERFECT

CATATAN: Cerpen ini hanya fiksi. Nama Dikdik diambil dari Sinetron Preman Pensiun RCTI. Jika ada nama yang sama, jangan baper ya, supaya tidak semaput…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *