Opini  

Dik-Dik Binatang Kerdil

Foto: Sulaisi Abdurrazaq

Oleh: Sulaisi Abdurrazaq

SELAIN penjahat, pemeras, penipu, penghisap sabu-sabu, bajingan Dik-dik ternyata binatang buas, yang juga makelar PNS.

Amatilah, bagaimana pak Sugik diterkam, seperti serigala mencabik domba tua di tengah gulita belantara.

Dik-dik lupa, ceceran darah pasti tersisa pada ilalang yang akan terang begitu fajar berpijar.

Penjahat tak pernah menyangka, kilauan cahaya mentari akan bertutur tentang kejahatan itu pada semua orang.

Dikdik, kamu keliru, menghajar penasehat hukum pak Sugik. Ia tak pernah memukulmu, tapi kau serang integritasnya, seolah ia anak kecil dengan dosa tak berampun.

Begitu fiksi “Dik-dik Sang Penjahat” menyeringai dunia maya, LP tipu-gelap berseluncur, penjahat merengek-rengek, mencari orang yang senang menulis dongeng.

Ia berharap bisa obati hati yang menyimpan luka, mengemis iba dan belas kasihan teman-temannya. Dik-dik seperti terjerat prahara, terjebak perangkap permainan “Kang Mus” .

Pak Sugik, memang tak banyak bicara, tapi ia menyimpan rahasia siang dan malam. Jika tak bertobat, Dik-dik pasti mendapat balasan berlipat ganda.

Dikdik menggigil, dipanggil Polri untuk diperiksa bersama Kang Mus. Nyalinya kerdil. Tak sanggup membendung gelegar dadanya yang dirasuki ketakutan.

Ia tak hadir, tak memberi rasa hormat pada penegakan hukum.

Tak disangka, Dik-dik yang telah lama punya mimpi, menyeret pak Sugik ke balik jeruji, karena menagih duit kembali, ternyata waktu turut menggilasnya.

Padahal, mimpi tak pernah takut pada gelap malam yang kesepian.

Suatu sore, ketika siluet mengiringi mentari ke balik selimut malam, Dik-dik terdiam dalam bisu. Ia takut dicampakkan ke ruang tahanan yang paling gulita.

Untuk menghindari panggilan polisi, ia bilang akan berkordinasi dengan OA tempat ia bernaung. Padahal, penipuan dan/atau penggelapan yang ia lakukan terjadi tahun 2013. Jauh sebelum Dik-dik menjadi peng-acara.

Kejahatan Dik-dik tak ada korelasi dengan tugas profesi.

Jika dibikin contoh lebih telanjang, apabila ada peng-acara kedapatan menghisap sabu-sabu, untuk menangkapnya APH tak perlu izin OA. Karena perbuatannya tak berkorelasi dengan tugas profesi.

Dik-dik tak buas lagi, ia seperti binatang kerdil yang bersembunyi di balik semak-semak.

Ada cermin di pojok ruang tamu Kang Mus, Dik-dik memperhatikan wajahnya, mengingat-ngingat masa lalunya.

Dirinya punya kemampuan berlari yang relatif cepat dan cukup unik, polanya zig-zag.

Dalam suasana temaram, dirinya sadar bahwa tiap kali merasa terancam, selalu membuat suara melalui hidung, seperti menghirup sabu.

Tapi kok terasa aneh, suara dengan hidung terdengar seperti kata “Dik-Dik”.

Setelah memperhatikan dirinya dalam-dalam depan cermin, dalam keadaan sadar, Dik-dik tiba-tiba tertawa, terpingkal-pingkal, seperti orang gila.

Ia tak tahan terbahak-bahak, karena ternyata dirinya sama persis dengan Dik-Dik, binatang kerdil jenis antelop yang pemalu dan suka bersembunyi di semak-semak.

Dik-dik punya dua tanduk dan dua telinga runcing, empat kuku, hidung panjang, dan mata cokelat yang besar.

Dik-Dik menggunakan hidung lebih dari sekedar indera penciuman, tapi juga untuk mengambil sesuatu atau tumbuhan ketika makan.

Kalau sedang terancam, hidungnya berbunyi: “Dik-Dik”.

Tak ku sangka, itulah Dik-dik yang sesungguhnya. Gagal buas (*).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *