Opini  

Seragam, Merah, Belasan Milyar

                         Oleh : Fauzi As

Lembar VIII,

TROL,- Judul diatas semacam rapor akhir tahun dari publik kepada Kadisdik Sumenep, yang di rangkum secara acak dan kasar.

Mulai dari bantuan “SERAGAM” gratis, surat edaran warna cat “MERAH” gedung sekolah, hingga anggaran Honorarium 2022 berjumlah “BELASAN MILYAR” untuk Guru Tidak Tetap Eks K2, Pegawai Tidak Tetap Eks K1, dan Pegawai Tidak Tetap Eks K2.

Memang anggaran dana tersebut berjumlah belasan milyar, lebih tepatnnya 13.482 juta yang bersumber dari APBD.

Tapi yang salah itu singkatannya, bukan Kadisnya. GTT “Guru Tidak Tetap”
GTT “Guru Tidak Terbayar”.

Menurut rekaman yang saya dapatkan, dana itu tidak bisa cair pada tahun 2022 tahun ini. Hal itu dijelaskan dengan gagap dan gugup pada saat pertemuan 13 Desember minggu lalu.

Polemik Kebijakan Dinas Pendidikan, dan Nasib Tenaga Pendidikan ibarat minyak ketemu air dalam botol yang sama.

Cerita pendek tak disengaja, kamis 17 November bulan lalu saya nongkrong di sebuah warung kopi depan sekolah SM. Ini nongkrong tanpa janji. Tiba-tiba hujan lebat mengehentikan saya di tempat itu.

Duduk santai setelah memesan segelas kopi, tanpa di sengaja mata saya tertuju pada seorang guru.

Guru itu keluar dari dalam kelas menuju halaman sekolah. Dia tampak meninggalkan siswanya saat sedang mengajar. Sepertinya sang guru sedang menerima telepon dari seseorang.

Gerak-gerik guru itu tampak gelisah dan membingungkan, seolah tak peduli derasnya hujan. Dia hanya berteduh di bawah pohon jambu.

Karena penasaran saya coba bertanya pada ibu pedagang kopi. “Itu guru dari mana bu?”

Ibu Penjual Kopi : Oh… Itu guru dari Lenteng Mas, namanya Deddi.

Masih merasa penasaran saya coba mencari tahu. “Kok Seperti orang kebingungan ya bu…?”

Ibu Penjual Kopi : Iya dia kemarin cerita anaknya sedang masuk Rumah Sakit, dan dia gak punya uang, barusan pinjam kesaya Mas, kata ibu sambil menghela nafas.

Kemudian saya kembali melanjutkan pertanyaan. “Memangnya itu bukan PNS bu..?”

Ibu Penjual Kopi : “Bukan mas, dia Guru Tidak Tetap “GTT” disini ada lima orang”.

Ibu penjual kopi itu melanjutkan ceritanya bahwa nasib guru GTT itu terkesan tidak diperhatikan oleh pemerintah. Bahkan tidak jarang untuk sekedar membayar kopi saja mereka harus bayar mundur, atau ngebon terlebih dahulu.

Cerita dari ibu itu coba saya renungkan,
memang Dinas Pendidikan ini adalah rahim dari adab dan pengetahuan. Namun bagaimana bisa kualitas pendidikan ini lebih baik kalau kesejahteraan guru di abaikan, dalam benak saya pada waktu itu.

Guru yang diharapkan mampu melahirkan putra-putri terbaik bangsa, masih sibuk dengan tagihan kopi.

Lamunan itu membawa ingatan saya pada aksi Mahasiswa PMII Januari lalu. Sejenak menyimak kembali kiriman video orasi Nurhayat pada saat memimpin demo mahasiswa di Dinas Pendidikan Sumenep.

Setidaknya dalam satu bulan itu ada tiga kali aksi demonstrasi dilakukan. Ingatan itu masih terbaca terang, beritanyapun belum tenggelam tertimbun mark-up seragam.

Saya menyimak bait demi bait puisi lantang  sang orator, teriakan bernada tinggi dalam bingkai semangat perubahan.

Ya, Nurhayat bersama aktivis mahasiswa yang tergabung dalam PMII STKIP PGRI Sumenep meminta Kepala Dinas Pendidikan Sumenep yang baru, Agus Dwi Saputra mundur dari jabatannya pada Selasa 11 Januari 2022.

Namun paska didemo oleh Nurhayat “PMII” Kadisdik tetap tegak berdiri. Kebijakan-kebijakannya terus mengusik nalar publik. Inovasi ditambah Kontroversi, sama dengan Minus Prestasi.

Saya membayangkan jika oposisi berfungsi sebagaimana mestinya. Aktivis dan Mahasiswa seperti Nurhayat tidak akan terus turun kejalan. Suara mereka akan di agregasi lalu diucapkan kembali oleh wakil mereka di parlemen.

Demonstrasi ala Nurhayat “PMII” adalah konsekuensi logis dari tertutupnya percakapan politik. Sehingga percakapan itu harus dibongkar dan digelar ditengah jalan.

Kami salut dengan Nurhayat, ia mampu menangkap batin publik yang ragu terhadap kompetensi Kadisdik baru.

Nurhayat sekaligus menjadi fortune teller. Dia punya keahlian melihat masadepan pendidikan Sumenep, dengan meramalkan bahwa hadirnya Nahkoda baru akan membuat Kapal pengetahuan tenggelam  ke dalam samudra kegelapan.

Dari pergerakan Aktivis PMII ini saya coba mencari tahu, apa sebenarnya yang ada dalam batin Nurhayat dan Mahasiswa PMII. Karena tidak kurang dari tiga kali dalam satu bulan Nurhayat mendemo Kadisdik baru.

Hingga saat ini publik berharap cemas, menunggu Nurhayat atau aktivis PMII menjemput Kadisdik Pulang, atau dengan solusi yang paling radikal adalah dia harus memundurkan diri.

Menurut beberapa media yang saya baca, Kadisdik yang sebelumnya menjabat Kepala Disperindag juga banyak meninggalkan bekas luka. Bahkan sempat ada sejumlah aktivis yang melakukan Aksi di KPK.

Massa aksi membawa spanduk bertuliskan “KPK Usut Proyek Pasar Batuan. Periksa Kadis Perindag Sumenep (Agus Dwi Saputra)” dengan hastag KPK Hebat.

Sejumlah Program dengan angka cukup fantastis seperti KIHT, Pasar Batuan dll.

Temuan BPK di sejumlah Pasar di Kabupaten Sumenep semua berada dalam naungan Kadis Perindag pada waktu itu.

Publikpun berharap jangan sampai Nahkoda pendidikan berpikir Industri Pendidikan atau Perdagangan pengetahuan.

Teman saya di sebelah berpendapat. “Ini lelang jabatan yang onomali. Kita membayangkan masa depan pendidikan yang baik, tetapi dengan jejak memori yang buruk di masalalu, sangat disayangkan jika setiap kebijakan berujung pada permintaan maaf,” ungkapnya dengan nada kesal.

Opini/Artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Sumenep 24 Desember 2022.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *