Foto : Kantor desa Macanbang kecamatan Gondang-Tulungagung
TROL, Tulungagung- Desa Macanbang merupakan salah satu desa yang berada di wilayah kecamatan Gondang kabupaten Tulungagung. Setiap desa mempunyai ciri khas dan karakter sendiri, biasanya hal tersebut terbentuk dari sejarah dan latar belakang desa tersebut.
Seperti halnya desa Macanbang, desa ini mempunyai latar belakang sejarah yang panjang dan tertuang dalam cerita-cerita yang diturunkan secara turun-temurun.
Menurut Sukirman kepala dusun Krajan desa Macanbang, asal usul desa Macanbang memiliki banyak versi cerita yang cukup berfariatif.
“Dari berbagai cerita yang ada, salah satu cerita yang paling banyak dipercayai orang sebagai dasar disebutnya desa Alas Semampir,” ucap Sukirman.
Berikut sejarah berdirinya desa Macanbang menurut penuturan Sukirman. Cerita ini sudah melegenda yang tersebar sejak dahulu hingga saat ini.
Legenda desa Alas Semampir menjadi desa Macanbang ini dimulai pada saat itu di desa ini orang-orangnya masih banyak yang percaya pada hal-hal tahayul (animisme dan dinamisme). Sehingga peradaban orang-orang belum mengenal agama secara keseluruhan bahkan orang-orang yang hidup di desa ini masih mengandalkan hal-hal yang bersifat mistis. Semisal untuk menjaga kewibawaan diri, banyak orang yang datang ketempat pemujaan (punden) untuk meminta berkah juga untuk mengalahkan lawan mereka menggunakan kekuatan hitam (teluh, santet, tenung dan lain-lain). Sejarah alas semampir tercatat tahun 1800, pada jaman purbakala kurang lebih 1475 M.
Tahun 1478 sampai dengan 1550 kerajaan Demak berkuasa selama 42 tahun, Kanjeng Sunan Ampel dari Surabaya yang bernama Raden Rohmat dengan muridnya yang banyak bertujuan mengembangkan agama islam dari alas Semampir hingga sampai Lodoyo. Saat itu Lodoyo dipimpin oleh Kyai Garong yang mempunyai ilmu kesaktian manusia jadi harimau, dan sama-sama mempunyai murid banyak.
Suatu hari ketika Sunan Ampel datang di Lodoyo bersama kerabatnya setelah pertemuan tukar pikiran akhirnya pembesar Lodoyo dan Sunan Ngampel terjadi selisih pendapat dan tidak bisa akur (bersatu). Sehingga menjadi perang dan Sunan Ampel bersama rombongan kalah kemudian kembali ke Surabaya.
Sesampainya di Surabaya Sunan Ampel masuk sanggar pemujaan dengan mendapatkan hasil wangsit supaya putrinya yang bernama Siti Nurimah dikawinkan dengan Sunan Kuning atau Muhammad Zaenal Abidin sepupu dari Sunan Kudus yang akan bisa mengalahkan musuh dari Lodoyo Blitar.
Setelah Sunan Kuning dijadikan menantu oleh Sunan Ampel, akhirnya diberitahu bahwa mertuanya mempunyai musuh di Lodoyo pimpinan Kyai Garong. Mendapatkan cerita seperti itu, Sunan Kuning bersama 4 orang kerabatnya mohon pamit berangkat ke Lodoyo bertujuan untuk mengalahkannya.
Tiba di Lodoyo, Sunan Kuning bersama 4 kerabatnya berbicara tentang ilmu ilmiyah dan rogoiyah pri kawiyanan. Akhirnya Kyai Garong beserta kerabatnya dinyatakan kalah, dan harus menuruti perintah Sunan Kuning untuk masuk agama islam.
Pada suatu hari Sunan Kuning dan 4 kerabatnya beserta Kyai Garong dan semua kerabatnya meninjau ke Surabaya. Dalam perjalanan selama 2 hari 2 malam melalui hutan besar dan lebat. Dihutan tersebut semua beristirahat, pakaian dan barang-barang bawaan diletakkan (disampirkan) di pohon besar, selanjutnya tempat ini di namakan Alas Semampir.
Pada kesempatan istirahat tersebut, muncul niat jahat Kyai Garong ingin meracuni Sunan Kuning beserta kerabatnya dengan mengusulkan kesenian Langen Bekso Aran Miosuman yang sudah menjadi kebiasaannya. Sebetulnya oleh Sunan Kuning tidak diijinkan, tetapi lama-lama diijinkan juga. Semuanya minum, termasuk kanjeng Sunan Kuning merasakan pusing karena tidak tahu kalau minuman yang diminum bercampur racun.
Sunan Kuning beserta kerabatnya akhirnya langsung mabuk, kesempatan itu di gunakan Kyai Garong untuk bersembunyi. Sementara itu, semua kerabat Sunan Kuning mengerumuninya, karena merasa terkena tipu, dirinya berpesan kepada kerabat-kerabatnya, kalau meninggal dunia supaya dimakamkan disini dan dihormati dengan baik.
Berikut pesan Sunan Kuning kepada kerabat-kerabatnya. “Makamku dipasang song-song cungkup. Kalau besok jadi pedesaan orang yang punya hajat tidak boleh menggunakan minuman keras dan badek tape, tidak boleh membawa minuman, membawa badek ketan didepanku, tidak boleh orang membasuh dikolamku, maka dari itu makamku supaya dibeteng”.
Selanjutnya, 4 kerabatnya disuruh melapor ke Kudus, Ngampel dan langsung ke Surabaya. Makam Sunan Kuning dijaga oleh Kyai Mercobo yang jadi harimau merah (macan abang) dan kyai Sarkani yang jadi Naga Gawang dari Lodoyo.
Lain hari ada seseorang yang datang dari Mataram yang bernama Juru Mertani yang sengaja mencari makamnya Sunan Kuning. Sampai dimakam dirinya terkejut ternyata makam tersebut ada yang jaga yaitu seekor harimau merah (macan abang) dan Rogo Gedhe dan ternyata harimau tersebut bisa tutur kata layaknya manusia, akhirnya tempat tersebut dinamakan Desa Macanbang. (jk)
Sumber : Diambil dari berbagai sumber dan Pak Sukirman kepala dusun Krajan desa Macanbang.