Oleh: Sulaisi Abdurrazaq
“Jangan pernah lupa bahwa tak ada pemimpin militer yang menjadi besar tanpa keberanian”
Carl von Clausewitz
TROL, JENDERAL Farid Makruf, Pangdam V Brawijaya adalah pemimpin punya nyali dan problem solver. Selalu mengambil langkah strategis dan taktis.
Biasanya, pemimpin dengan style begitu punya ketajaman identifikasi masalah organisasional militer dan cenderung melampaui batas-batas imajinasi dalam menganalisis penyelesaian masalah internal maupun eksternal.
Karena bernyali besar, Jenderal Farid Makruf adalah pemimpin militer yang meresahkan.
Mengapa? Karena dalam situasi negara sedang damai, organisasi militer selalu melebur dengan rakyat dan Jenderal Farid Makruf mampu memanfaatkan kegiatan-kegiatan militer untuk tujuan kemanusiaan dan pemberi solusi di luar fungsi perang. Demi keamanan dan demi menjaga kehangatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lalu siapa yang resah? Meraka adalah biang kerok, penjahat dan mafia. Termasuk penjahat yang beroperasi di dunia cyber.
Saya menggali informasi dari berbagai sumber, termasuk dari kawan dekatnya. Ternyata, jejak taktis langkah jenderal ini selalu menggetarkan hati penjahat dan mafia-mafia yang selama ini sulit ditertibkan.
Kota Palu adalah saksi, Jenderal Farid Makruf mendampingi Irjen Pol. Abdul Rakhman Baso dalam Operasi Tinombala dan Operasi Madago Raya.
Targetnya adalah, memburu kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso. Karena itu, ia dikenal sebagai Jenderal Pemburu Teroris Poso.
Ketika menjabat Danrem NTB, Mayjen Farid terlibat pula menyelesaikan masalah rumit yang melampaui jabatannya, yaitu pembebasan tanah lokasi Sirkuit Mandalika.
Jika lahan seluas lebih dari 100 hektar itu tidak bisa dibebaskan, balap MotoGP yang mendunia itu tak mungkin terselenggara di sana.
Farid Makruf, selalu hadir dan berbuat melampaui tuntutan dinasnya, meski hal itu sebenarnya bukan urusan Danrem, tetapi sudah lebih 30 tahun tanah Mandalika tak kunjung tuntas, namun akhirnya teratasi.
Jejak kaki Jenderal Farid melekat pula di Sumenep dan cukup meresahkan bagi kelompok mafia-mafia tanah.
Melalui anak buahnya, Letkol Donny Pramudya Mahardi, Dandim Sumenep, tanah Makodim yang sudah 70 tahun statusnya belum beres, kini lahan itu tak hanya bersertifikat, bahkan pelakunya telah disisir dan ditetapkan Tersangka oleh Polres Sumenep.
Saat ini perkara itu telah limpah ke Kejaksaan Negeri Sumenep untuk dituntut dan diadili dimuka sidang.
Mungkin, banyak orang tidak tahu jejak langkah sang Jenderal, tetapi catatan ini harus kita tulis, sebagai fakta digital agar bisa menjadi contoh bagi pemimpin-pemimpin berikutnya.
Batu harus dipahat untuk menghasilkan keindahan.
Kini, hanya beberapa bulan Jenderal Farid Makruf menjabat Panglima Kodam Brawijaya, nampaknya sudah ada yang mulai resah dan mual-mual. Keresahan itu dapat kita lihat dari lemparan fitnah di lorong gelap lewat akun-akun bodong.
Karena itulah, saya menduga-duga, apakah ini bagian dari geng teroris, geng mafia tanah, atau penjahat lain yang mual melihat wajah sang Jenderal?
Publik tentu sudah cukup cerdas menilai gejala itu. Catatan ini harus ditulis, agar dapat memberi bobot positif untuk kebaikan, dukungan moril bagi Jenderal Farid Makruf.
Tetaplah jaga Integritas itu jenderal. Karena, prajurit ideal itu adalah “seseorang yang konservatif dalam strategi perang, tapi berpikiran terbuka dan maju mengenai persenjataan yang baru dan berbagai bentuk taktik yang baru”.
Begitulah menurut Samuel P. Huntington. Saya hanya meminjam tesisnya.
Tetaplah meresahkan. “Rawe-rawe rantas, malang-malang Putung”.
Penulis adalah Alumni Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia, Ketua Dewan Pengurus Wilayah Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia Jawa Timur dan Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum IAIN Madura.