TROL,- Beribadah haji ke tanah suci di Mekkah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim di seluruh dunia, tak terkecuali di Nusantara. Annabel Teh Gallop dari The British Library berujar dalam diskusi daring The Hajj from Southeast Asia: A Story in Sources from Ottoman Times. Dia menyebutkan kisah keberangkatan haji dijadikan kisah perjalanan dari Malaka.
Kisah itu adalah Hikayat Hang Tuah. Hang Tuah sendiri adalah bangsawan di negeri itu dan melakukan perjalanan ke Roma di abad ke-15. Ketika kapalnya melewati laut merah, ia diajak gubernur Jeddah untuk berhaji. Bahkan disela kegiatan haji itu, ia juga membeli kiswah (kain penutup Ka’bah) sebagai buah tangan. Lambat laun, membeli oleh-oleh saat berhaji dilakukan di masa berikutnya hingga kini.
Selain bertujuan untuk beribadah dan berbelanja, Martin van Bruinnessen dalam Mencari ilmu dan pahala di tanah suci: orang Nusantara naik haji, dilakukan oleh para tokoh untuk mencari ilmu, ‘kesaktian’, dan mendapat pengakuan jabatan sultan maupun kedaulatan.
Tindak pengakuan jabatan sering dilakukan pada periode 1600-an, ketika penguasa setempat—terutama kesultanan di Jawa—berangkat haji agar mendapat restu sebagai haji. Sedangkan penggunaan untuk mendapatkan status jabatan politik maupun pandangan masyarakat masih berjalan hingga kini.
Pada masa Hindia Belanda, pemerintah memfasilitasi ibadah haji melalui departemen kebijakan sipilnya. Hal itu dingkap oleh Ismail Hakki Goksoy (2002), karena pemerintah mencegah pembelotan yang dilakukan umat Muslim.
Rupanya, keberadaan haji juga sangat berperan dalam peningkatan kualitas Islam di Hindia Belanda, tulis Huub de Jonge di bukunya, Mencari Identitas, Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950).
Meski secara strata sosial Bumiputera dianggap rendah daripada pemuka agama Muslim-Arab, mereka berkualitas saat berdakwah karena mengikuti pembelajaran agama bertahun-tahun di tanah suci.
Berdasarkan data statistik Jacob Vredenbregt dalam The Haddj: Some of its features and functions in Indonesia, berhaji bagi masyarakat Muslim di Hindia Belanda sangat marak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Bahkan selama 1920-an, 40 persen dari seluruh haji di Mekkah berasal dari Indonesia
Maraknya rombongan haji selama dekade 1920, secara politis disebabkan Perang Dunia I yang melibatkan Turki Utsmani pada 1918. Keberangkatan haji jadi tertunda hingga ke dekade itu.
Namun karena jumlah jamaah haji yang sangat ramai, justru berbuah kerugian seperti perompak dan kapal yang sering karam karena melewat samudera luas. Kerugian itu banyak terjadi saat kapal belum bertenaga bahan bakar.
Ketika pulang ke tanah air, rintangan masih ada urusan administrasi yang harus dilakukan para haji. Vredengbregt menulis, mereka harus menghadapi ujian haji untuk mengetahui seberapa dalam ilmu agama yang dipelajari setelah berhaji
Setelah itu mereka pun disematkan gelar haji oleh pemerintah dengan tujuan mempermudah kontrol dan pengawasannya di tiap daerah. Apablia ada konflik agama, pemerintah dapat dengan mudah melucuti gelarnya.
Sejak 1911 hingga 1933, para haji juga dikontrol lewat karantina di Pulau Onrust dengan dalih pencegahan penyebaran penyakit dari luar negeri, terutama pagebluk pes yang mewabah. Belakangan, semua sadar bahwa pagebluk pes di Jawa bukan berasal dari para jemaah haji, melainkan tikus-tikus yang terinfeksi pes telah terbawa dalam impor beras dari Myanmar.
*artikel ini diambil dari nationalgeographic.co.id/edisi senin, 19 april 2021