TROL, Bojonegoro – Ketika para petani di Bojonegoro sedang kelimpungan menghadapi masa tanam kedua (MT2), kelangkaan pupuk bersubsidi kembali jadi momok yang belum juga terselesaikan.
Ironisnya, satu-satunya langkah konkret yang terdengar dari Pemerintah Daerah hanyalah mengirim surat.
Ya, Bupati Bojonegoro Setyo Wahono memang dikabarkan telah menyurati Menteri Pertanian, ID Food, hingga Pupuk Indonesia demi meminta tambahan kuota pupuk bersubsidi.
Tapi sayangnya, surat itu belum berbalas, dan para petani masih gigit jari, menanti keajaiban datang dari langit.
Wakil Bupati Nurul Azizah pada Sabtu 19 April 2025 bahkan mengakui sendiri keresahan para petani. Ia menyebut tiga masalah utama yang menghimpit para petani, kelangkaan air, pupuk, dan harga panen yang tak menentu.
Tapi alih-alih solusi konkret, yang muncul justru wacana dan janji inovasi. Salah satunya normalisasi air dan penghematan.
Lebih lanjut, Nurul menganjurkan petani agar mulai beralih ke pupuk organik. Sebuah solusi yang tampak bijak jika saja transisinya semudah membikin mie instant.
Dalam situasi krisis, ketika pupuk kimia masih jadi tumpuan utama produksi, menyuruh petani mengubah kebiasaan tanpa dukungan nyata hanya terdengar seperti lempar tanggung jawab.
Tak ingin ketinggalan panggung, Wakil DPRD Jatim Sri Wahyuni dari Fraksi Demokrat pun angkat bicara.
Ia menyatakan siap bersinergi dan mendukung Pemkab Bojonegoro demi pengentasan kemiskinan dan kemajuan pertanian.
Tapi lagi-lagi, semua masih di level wacana. Sementara sawah-sawah mulai kering, dan pupuk makin sulit dicari.
Begini caranya negara hadir untuk petani? Ketika kebutuhan mendesak hanya dibalas janji dan surat tanpa kepastian.
Petani Bojonegoro butuh aksi nyata, bukan sekadar retorika manis di ruang paripurna.
Pemerintah seharusnya tidak cuma jadi pengantar surat, tapi pelindung dan penyelamat rakyat yang bekerja keras menanam untuk memberi makan negeri.
Petani Bojonegoro hari ini bukan hanya kekurangan pupuk mereka juga kekurangan perhatian.
Mereka tak hanya mengolah tanah, tapi juga menelan pahitnya kebijakan yang tak berpihak.
Dan jika pemerintah terus sibuk mengurus surat tanpa aksi nyata, jangan salahkan petani kalau suatu hari mereka memilih berhenti menanam.
Karena tak ada yang lebih menyakitkan dari berjuang sendirian untuk negeri yang pura-pura peduli. (adi)