foto : ilustrasi/kawulaindonesia/ist
TROL, Jakarta– Pandemi Covid-19, perlambatan ekonomi, hingga kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Subsidi mengubah tren industri rokok Indonesia. Pandemi tidak hanya memudarkan popularitas rokok sigaret putih mesin (SPM) tetapi juga membuat pasar domestik dibanjiri rokok murah.
Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia pada Maret 2020 hingga saat ini atau 2,5 tahun terakhir, puluhan produk rokok murah diluncurkan. Tidak hanya pemain kecil dari daerah, rokok murah juga dikeluarkan pabrikan the big three Tanah Air yakni PT HM Sampoerna, PT Gudang Garam, dan PT Djarum.
Salah satu produk rokok murah yang diluncurkan HM Sampoerna adalah Marlboro Crafted Authentic. Produk yang diluncurkan pada Maret 2022 dijual di bawah di kisaran 8 ribu – 10 ribu dengan isi 12 batang per pack.
Djarum meluncurkan produk seperti Djarum Super Next dan Djarum Wave yang dibanderol 16 ribu untuk 12 batang.
Gudang Garam me-relaunch Gudang Garam Signature Mild dengan varian 12 batang per pack, dari sebelumnya 16 batang sehingga harganya lebih terjangkau menjadi 18 ribu per pack.
Peluncuran rokok murah menjadi strategi perusahaan di tengah pandemi yang meluluhlantakan ekonomi. Sebagai catatan, pandemi menyeret Indonesia ke jurang resesi pada kuartal II-2020 hingga kuartal I-2021.
Pandemi memaksa pemerintah untuk membatasi aktivitas ekonomi dan masyarakat sehingga konsumsi rumah tangga pun jeblok. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi Indonesia terkontraksi selama setahun pada periode resesi. Anjloknya konsumsi tersebut tentu saja berimbas kepada penjualan rokok di Indonesia.
Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menunjukkan konsumsi rokok domestik pada 2020 mencapai 322 miliar batang atau turun 9,7 persen.
Penurunan ini langsung berimbas kepada pabrikan besar. Volume penjualan Sampoerna pada tahun 2020 anjlok 19,3 persen menjadi 79,5 miliar unit. Penjualan bersih mereka anjok 12,95 sementara laba bersih tergerus 37 persen.
Gudang Garam mencatatkan penurunan volume penjualan sebesar 6,5 persen dan laba bersih sebesar 29 persen pada 2020.
Konsumsi Rokok Domestik
Naiknya tarif cukai rokok dari waktu ke waktu, membuat sejumlah orang memilih alternatif rokok dengan harga murah. Ghofar pemilik warung eceran menjual berbagai macam Merk rokok mengatakan biasanya orang yang beralih rokok itu karena mencari harga yang lebih murah dengan jenis yang sama.
Penurunan penjualan rokok domestik sejak pandemi terutama terjadi pada kelas SPM. Karena itulah, HM Sampoerna menjadi salah satu perusahaan yang paling terimbas pada awal pandemi. Sebagai catatan, perusahaan yang berdiri pada 1913 menguasai lebih dari 50 persen pasar rokok SPM Tanah Air.
“Dampak ekonomi dari pandemi mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat yang sebelum Covid-19 sudah pada titik rendah. Hal ini menyebabkan perpindahan pembelian ke produk dengan harga murah (downtrading),” tulis Sampoerna dalam laporan tahunan 2020.
Fenomena serupa juga diamini Gudang Garam. Dalam laporan tahun 2020, perusahaan asal Kediri Jawa Timur tersebut menyebut ada kecenderungan konsumen beralih ke merek rokok dengan harga lebih murah. Fenomena tersebut telah berlangsung sejak 2020 akibat menurunnya daya beli konsumen di segmen yang berpenghasilan lebih rendah.
Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan adanya peningkatan perokok di tengah pandemi. Jumlah perokok dewasa bertambah 8,8 juta orang dalam 10 tahun dari 60,3 juta menjadi 69,1 juta pada 2021.
Survei sejumlah lembaga juga menunjukan bahwa pandemi tidak mengurangi jumlah perokok. Namun, mereka mulai beralih ke rokok yang lebih murah.
Laporan Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukan 42$ dari perokok persisten saat ini mengatakan akan mengurangi pengeluaran untuk merokok dan 24 dari mereka beralih ke rokok yang lebih murah.
Sementara itu, riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menunjukkan kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah masih melanjutkan untuk merokok saat pandemi meskipun kesulitan secara ekonomi dan cenderung untuk beralih ke rokok yang lebih murah. Riset tersebut sejalan dengan penjualan di lapangan di mana banyak perokok yang kini mencari rokok murah.
Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan adanya peningkatan perokok di tengah pandemi. Jumlah perokok dewasa bertambah 8,8 juta orang dalam 10 tahun dari 60,3 juta menjadi 69,1 juta pada 2021.
Survei sejumlah lembaga juga menunjukan bahwa pandemi tidak mengurangi jumlah perokok. Namun, mereka mulai beralih ke rokok yang lebih murah.
Laporan Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukan 42$ dari perokok persisten saat ini mengatakan akan mengurangi pengeluaran untuk merokok dan 24 persen dari mereka beralih ke rokok yang lebih murah.
Sementara itu, riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menunjukkan kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah masih melanjutkan untuk merokok saat pandemi meskipun kesulitan secara ekonomi dan cenderung untuk beralih ke rokok yang lebih murah. Riset tersebut sejalan dengan penjualan di lapangan di mana banyak perokok yang kini mencari rokok murah.
“Banyak yang cari, karena tentu mereka mencari yang sesuai dengan kebutuhan kondisi keuangan masing-masing. Kebanyakan switch karena alasan keuangan sih bukan karena brand,” tutur Andi, agen rokok di Bogor.
Pengamat industri rokok Dimas Dwi Nugraha menjelaskan mahal dan murahnya harga rokok tentu saja sangat relatif bagi setiap orang.
Namun, jika dilihat dari bahan mentah, kemasan, dan faktor lain maka harga rokok murah untuk kelas Sigaret Kretek Mesin (SKM) adalah di bawah 17 sampai 18 ribu per pack, kelas SPM di bawah kisaran 25 ribu perpack, Sigaret Putih Tangan (SPT) di bawah 10 ribu per pack, dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) di bawah 15 ribu.
“Kita bisa lihat banyak merek baru dan produk murah berterbangan di pasaran. Preferensi perokok agak sulit untuk diubah dengan produk-produk murah itu. Mereka banyak yang akhirnya ambil eceran untuk bisa memenuhi nafsu akan rokoknya yang sulit untuk dipenuhi oleh merk-merk murah itu,” tutur Dimas.
Penelusuran menunjukkan banyaknya rokok murah yang baru beredar setelah pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Perusahaan besar juga memakai strategi lain yakni mengemas ulang rokok dengan isi yang lebih sedikit.
HM Sampoerna mengeluarkan rokok lama dengan jumlah yang sedikit, di antaranya adalah Marlboro Filter Black (untuk 12 batang harga 20.600 per pack) dan Philip Morris Magnum 12 (18.300 per pack).
Produk baru yang diluncurkan di antaranya Marlboro Crafted Authentic (8 hingga 10 ribu per pack) dan Marlboro Advance ( 17 – 19 ribu per pack)
Djarum meluncurkan produk seperti Djarum Super Next dan Djarum Wave yang dibanderol 16 ribu untuk 12 batang. Djarum juga mengeluarkan varian Djarum 76 Madu Hitam ( 12 hingga 13 ribu per pack).
Wismilak meluncurkan Wismilak Golden ARJA yang dibanderol dengan harga 8 hingga 9 ribu per pack dengan isi 12 batang.
Rokok murah dari produsen lainnya adalah Minak Djinggo Rempah dari PT Nojorono Tobacco International (harga 10 ribu per pack), City Lite By Ares produksi PR Sejahtera ( 14 hingga 16 ribu per pack), Kansas American Blend (11-12 ribu per pack), Aroma Mile (Mild) produksi Nojorono Group (15 ribu hingga 16 ribu per pack), dan Esse Bana Pop 12 batang produksi KT&G Group (21ribu per pack).
Terdapat juga Camel Mild Intense Blue (20 ribu per pack) dan Camel Mild Option Yellow Kretek 12 (15 hingga 16 per pack) propduksi PT. Karya Dibya Mahardhika dan Hero Casual Bold dari Hero Casual ( 13 sampai 16 per pack).
Selain yang beredar secara nasional, terdapat beberapa rokok yang peredarannya sangat kencang di daerah tertentu. Sejumlah rokok yang penjualannya kencang di daerah tertentu dengan produk baru setelah 2020 di antaranya adalah Gudang Baru Premium ( 15 ribu per pack), Mozza (11ribu per pack), dan Super 57 Madjoe (14 ribu per pack).
Beragam produk PT Panen Boyolali dengan merk Lodjie seperti Lodjie 99, Lodjie Ijo (6 ribu hingga 10 ribu per pack), rokok 169 produksi PR Sayap Bintang Sayap Insan Malang (7-8 ribu per pack), Aroma Mile ( 16 ribu per pack) dan Aroma Slim ( 9 ribu per pack) produksi PT A.T.I Kudus, Sukun Exective produksi Sukun Kudus (19 ribu hingga 21ribu per pack), dan rokok Juara Ginseng produksi KT&G (10 ribu per pack).
Ada juga Tabaco One produksi PR Jaleca Kudus ( 12 ribu) dan rokok Raven produksi PT Trasentra Tobacco Kudus (16.500),
Data Ditjen Bea Cukai per September 2022 menunjukkan produksi rokok SKM menembus 155,82 miliar batang pada Januari-September 2022. Jumlah tersebut memang turun 6,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, kontribusinya masih 67 persen dari total rokok sigaret.
Sementara itu, produksi rokok SKT naik 8,7 persen menjadi 66,22 miliar batang pada Januari-September 2022, SPM melandai 4,9 persen menjadi 7,75 miliar batang, dan SPT melonjak 49,6 perse menjadi 1,19 miliar.
Bila ditinjau lebih lama lagi, produksi rokok SKT terus menanjak dari 69,3 miliar batang pada 2019 menjadi 81,6 miliar batang pada 2020 atau naik 15 persen. Produksi rokok SKT melonjak 14,7 persen menjadi 95,7 miliar batang pada 2021.
Sebaliknya, produksi rokok SPM ambles dari 15,1 miliar batang pada 2019 menjadi 11,4 miliar batang pada 2020 dan 9,4 miliar batang pada 2021.
Sementara itu, data Gudang Garam menunjukkan terjadi penurunan rokok di semua kategori pada awal pandemi 2020.
Volume penjualan sigaret kretek mesin rendah tar nikotin (SKM LTN) turun 27,1 persen menjadi 57,9 miliar batang. Volume penjualan segmen sigaret kretek mesin full flavour (SKM FF) turun 9,4 persen menjadi 110,0 miliar batang. Volume penjualan di segmen SKT mengalami penurunan terkecil, 4,5 persen menjadi 41,8 miliar batang sementara volume penjualan rokok putih turun 29,2 persen menjadi 9,6 miliar batang, dengan pangsa pasar kurang dari 5 persen.
“SKM full flavour masih bertahan sebagai segmen pasar terbesar dengan pangsa pasar 50,1persen,” tulis Gudang Garam dalam laporan tahunan 2020.
Anjloknya produksi rokok merupakan sinyal jika rokok mild semakin ditinggalkan. Pasalnya, rokok SPM didominasi rokok mild. Sebaliknya, produksi rokok SKT yang melonjak tajam dan masih tingginya produksi SKM full flavour menunjukkan rokok full flavour semakin banyak dicari selama dua tahun terakhir.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, menjelaskan masih besarnya perokok full flavour dan turunnya rokok putih ini terkait erat dengan pandemi. Rokok full flavour dengan kandungan nikotin yang tinggi akan membuat perokok lebih “kenyang”.
“Orang kalau dikasih rokok tiga batang mild sama satu (full flavour) Dji Sam Soe langsung kenyang yang Dji Sam Soe Kan?Pandemi membuat ada yang lari rokoknya makin kenceng, ada yang lari ke full flavor. Orang sudah banyak yang mulai lari ke full flavour,” tutur Nirwala, saat berbincang dengan CNBC Indonesia, pekan lalu.
Rokok full flavour merujuk pada rokok dengan kandungan tar dan nikotin lebih besar serta penggunaan saus atau perasa lebih banyak dibandingkan jenis lain. Dalam proses pembuatannya, rokok ini juga diberi aroma yang khas. Flavour atau perisai/penyedap dalam rokok yang paling umum dipakai adalah cengkeh. Terdapat juga perasa buah-buahan.
Dalam sebatang rokok full flavour, rata-rata mengandung 32 miligram tar dan 2 miligram nikotin. Pada rokok mild pada umumnya mengandung 0,8-1,1 mg nikotin dan 10-18 mg tar. |
Rokok kretek yang menggunakan campuran cengkeh dan tembakau hampir dipastikan adalah jenis full flavour. Beberapa merk rokok full flavour yang terkenal adalah Gudang Garam Filter, Dji Sam Soe, dan Surya 16.
Dimas Dwi Nugraha menjelaskan besarnya perokok full flavour di saat pandemi terkait erat dengan nilai ekonomi.
“Ada kaitan sama bakaran. (Rokok mild) Durasinya cepet habis. Kalau bicara mild paling lama (bakarannya) juga 10 menitan. Kita bayar berapa tapi kok hasil bakarannya segitu. (Full flavour) nendang lebih lama makanya lebih laku sekarang kretek sama filter,” ujarnya.
Semakin mahalnya rokok dan terbatasnya pengeluaran untuk merokok membuat banyak perokok kemudian beralih ke tradisi tingwe. Tingwe atau nglinthing dhewe (melinting sendiri) adalah proses menggulung tembakau dengan membubuhkan rempah pilihan sendiri.
Tradisi tingwe memang sudah ada sejak ratusan tahun sejalan dengan hadirnya rokok di Indonesia yang dipercaya dimulai pada akhir abad ke-19. Tradisi tingwe biasanya lebih didominasi oleh perokok tua atau di daerah.
Namun, pandemi membuat tren tingwe merambat ke pelajar atau pekerja muda. Tradisi tingwe bahkan merebak luas di kalangan mahasiswa sekitar Yogyakarta dalam dua taun terakhir.
“Kalau Jawa Barat sudah agak lama karena jenis tembakanya memang untuk tingwe. Di pasar lokal, permintaan untuk tembakau tingwe itu besar,” ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno kepada.
Namun, dia menjelaskan sangat sulit mencari berapa penjualan tembakau untuk tingwe karena transaksinya lebih banyak dilakukan di pasar tradisional.
Dimas Dwi Nugraha menjelaskan perokok tingwe merupakan segmen dengan pertumbuhan paling menjanjikan saat ini karena masih murahnya tembakau iris (TIS).
Tembakau TIS yang dijual untuk tingwe juga belum dikenai cukai. TIS sebenarnya sudah dikenai cukai tetapi komoditas tersebut tidak dikenai cukai jika dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan.
Data Ditjen Bea Cukai menunjukkan penjualan TIS naik 16,3 persen pada periode Januari-September 2022 menajdi 9,37 juta ton.
“Tingwe sebenarnya juga tren telat karena kita sudah dimanjain rokok pabrik. (Tren) ada kaitan sama eksplorasi di rumah (selama pandemi). Suntuk ya kalo bicara pandemi,” ujarnya.
Salah satu perokok tingwe, Andreas Ismar, mengatakan tradisi tingwe memberi dia banyak kesempatan bereksplorasi. Selain tentu saja harganya lebih murah.
Tingwe memberinya kebebasan untuk memilih jenis tembakau yang cocok dengan lokasi. Selain jenis tembakau, rollers bisa memilih untuk membakar tembakau saja atau dicampur dengan cengkeh. Rollers juga bisa memilih untuk menambahkan tembakau dengan bunga kering atau daun lain (teh, mint, pisang) untuk memberi citarasa tambahan.
Selain itu, jenis kertas ataupun daun pembungkus juga memberi sensasi rasa berbeda. “Kreativitas tanpa batas dalam meracik dan eksplorasi cita rasa. Dijamin tidak monoton,” ujar Andrea, kepada.
Dia menambahkan dengan tingwe dia bisa menghemat hingga jutaan. Menurut hitungannya, harga dua pouch untuk kebutuhan tingwe setara dengan harga tiga bungkus rokok. “”Pengeluaran tingwe sebulan setara dengan delapan bungkus rokok. Bisa menghemat biaya ngebul sekitar 1 juta-an.” imbuhnya.(*)
*artikel ini diambil dari cnbcindonesia, edisi 28 October 2022 penulis Chandra Asmara & Anisa Sopiah & Maesaroh,judul
“Rokok Murah Banjiri Pasar, Orang RI Masih Bisa ‘Ngebul”