Oleh: Sulaisi Abdurrazaq
KEGIATAN FGD HMI Sumenep tanggal 28 Mei 2023 di Classic Coffe mengambil tema: “Quo Vadis Reaktivasi Rel Kereta Api Madura, Apa Kabar Infrastruktur Sumenep?”.
Saya mendapat giliran memantik diskusi paling bontot setelah Bappeda, PUTR Sumenep, Mas Akis Jasuli (Anggota DPRD Sumenep) dan Fauzi As.
Pada momentum itu saya memulai dengan mengajak audience membuka kembali sejarah. Jika sejak penjajahan telah ada kereta api di Madura, mengapa lalu ditutup?
Ternyata salah satu penyebabnya karena si ular besi kalah bersaing dengan bus, minibus, mobil pribadi dan sepeda motor.
Menurut beberapa sumber, masyarakat Madura mulai menimbang-nimbang perihal kecepatan dan ketepatan sampai di tujuan.
Berikutnya, jadwal kereta api dikurangi, lalu beroperasi tidak setiap hari, akhirnya operasional kereta api lintas Madura merugi sehingga tahun 1980 dihentikan dan 1984 benar-benar ditutup.
Jika rencana reaktivasi kereta api dari Sumenep – Bangkalan, lalu, sampai Bangkalan apa harus naik angkot ke Surabaya?
Prediksi saya, meski reaktivasi kereta api Madura terwujud, akan sama nasibnya seperti Bandara Trunojoyo Sumenep. Laa yamuutu wa laa yahyaa. Atau bahkan malah bangkrut karena tak mampu biaya operasional.
Bicara reaktivasi kereta api Madura saat ini, dalam situasi negara sedang susah bayar hutang, dalam situasi kereta cepat Jakarta – Bandung masih mangkrak, betapa tidak realistis membebani anggaran negara.
Bupati Sumenep memang provokator. Itu bukan kata saya, melainkan kata pemateri dari Dinas PUTR Sumenep.
Opini reaktivasi kereta api bukan gagasan genuine Achmad Fauzi, melainkan bersumber dari Perpres 80/2019 Tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik – Bangkalan – Mojokerto – Surabaya – Sidoarjo – Lamongan, Kawasan Bromo – Tengger – Semeru, Serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan.
Jadi, itu agenda negara untuk mendukung dan memberikan nilai tambah pembangunan kawasan sehingga salah satunya rencana akan dilakukan upaya pengembangan Kawasan Madura dan Kepulauan.
Achmad Fauzi, Bupati Sumenep, dengan sumber daya keuangan entah darimana, dengan cukup kolosal, menebarkan bener dari Sumenep, hingga Bangkalan, bahkan hingga ke daerah Jawa dengan berusaha mempersonalisasi seolah-olah reaktivasi rel kereta api itu murni gagasan dirinya.
Foto dirinya dengan Sri Mulyani, dengan Said Abdullah dan lain-lain seolah-olah menunjukkan bahwa dirinya tidak punya kreatifitas lain, hanya numpang wibawa Menteri Keuangan dan Ketua Banggar DPR-RI. Apa visinya? Kosong.
Tapi Achmad Fauzi itu Bupati yang rajin menghibur rakyat, untuk tidak mengatakan cenderung lari dari kegagalan dirinya dalam membangun infrastruktur Sumenep.
Karya dan kegiatan monumental tidak ada, hanya kegiatan-kegiatan jangka pendek sebagaimana Kalender Event 2023.
Kenapa dikualifikasi jangka pendek? Karena dari setiap Bupati komentar, salah satu target kegiatan itu agar terjadi geliat ekonomi di tingkat akar rumput.
Jadi, geliat ekonomi yang dimaksud Bupati hanya menggeliat pada saat acara sedang di gelar, selepas itu rakyat dan kaum Marhaen Sumenep susah lagi. Terhibur sehari, lalu kembali ke susah.
Itulah agenda jangka pendek yang cukup menghibur, sehingga, rakyat dan kaum Marhaen “tersihir” oleh event-event yang terkesan seperti acara hajatan itu.
Kaum Marhaen sementara lupa terhadap kepentingan pembangunan jangka panjang yang semestinya dioptimalkan oleh eksekutif, seperti pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, transportasi laut, air bersih, listrik, dan seterusnya.
Saya berharap, semoga rakyat lupa sementara saja, hanya ketika menikmati hiburan berupa atraksi jangka pendek yang disuguhkan eksekutif. Selepas itu, karena sengsara, saya harap kaum Marhaen sadar kembali dan hendaknya memilih untuk protes. Lawan.
Jadi, soal reaktivasi kereta api sudah jelas, Bupati – PDIP itu hanya mempersonalisasi dan mempolitisasi agar seolah-olah gagasan itu murni berasal dari dirinya. Ia berharap dipuji oleh rakyat Madura.
Tontonan seperti itu bisa jadi hanya untuk menghibur rakyat Madura agar di tahun politik 2024 dapat berlaga di level Provinsi, sebagai tempat yang lebih realistis untuk lari dari kegagalan membangun infrastruktur Sumenep.
Tema diskusinya reaktivasi rel kereta api, sehingga bisa saja nanti yang di – reaktivasi rel nya saja, lokomotifnya bisa mangkrak.
Soal infrastruktur Sumenep, saya ingin fokus menyoroti infrastruktur jalan – jembatan di Kangean, khususnya poros Arjasa – Kangayan.
Sejak Indonesia merdeka, sampai saat ini, rakyat, kaum Marhaen kepulauan Sumenep terus menerus diberi makan janji oleh Pemerintah soal infratruktur jalan.
Padahal Perpres 80/2018 Tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi salah satunya jelas berkaitan dengan kawasan Madura dan Kepulauan.
Perpres itu memerintahkan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota agar menyelaraskan regulasi dan peraturan perundang – undangan di daerah, agar percepatan pembangunan ekonomi di kawasan Madura dan Kepulauan benar-benar terwujud.
Perpres sudah diundangkan sejak tahun 2018, Sumenep sudah melakukan apa untuk menerjemahkan Perpres hingga saat ini, khususnya untuk kepulauan?
Urusan percepatan ekonomi kepulauan, tidak bisa lepas dari masalah infrastruktur, baik jalan, jembatan, transportasi laut, air bersih, listrik, dan lain-lain. Rakyat pulau kok masih teralienasi?
Padahal, Bupati Sumenep kader PDIP, pelanjut perjuangan Bung Karno. Ketua Banggar DPR-RI kader PDIP, pelanjut perjuangan Bung Karno. Yang semestinya konsekuen menjalankan prinsip-prinsip Marhaenisme. Memihak kepada rakyat kecil yang susah, yang melarat, yang tertindas.
Bung Karno, sebagaimana tertuang pada buku “Dibawah Bendera Revolusi Jilid 1”, menyampaikan perbedaan istilah-istilah Marhaen, Marhaenis dan Marhaenisme.
Pada Kongres Partindo di Mataram Tahun 1933, Bung Karno menyampaikan beberapa butir keputusan yakni:
1. Marhaenisme adalah sosio-nasionalisme dan sosio demokrasi.
2. Marhaenisme adalah cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.
3. Marhaen adalah kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
4. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan Marhaenisme.
Pada awalnya, saya mengira, Bupati Sumenep yang sekaligus Ketua PDIP Sumenep itu seorang Marhaenis, dalam arti seorang Bupati – PDIP yang menjalankan Marhaenisme, yang menghendaki “perang” terhadap imperialisme, perang terhadap segala bentuk yang membuat kaum Marhaen tertindas dan sengsara. Termasuk Marhaen-Marhaen Kepulauan Sumenep.
Namun ternyata, saya salah. Sehingga saya menyimpulkan, Bupati – PDIP Sumenep itu bukan seorang Marhaenis, ia hanya aktif saja di PDIP sebagai Parpol yang menjadi pelanjut perjuangan Bung Karno.
Achmad Fauzi saya nilai tidak meresapi ajaran-ajaran Bung Karno. Ia hanya penikmat kekuasaan. Bukan pengamal ajaran.
Sebenarnya, istilah Marhaenisme diilhami Bung Karno ketika sedang jalan-jalan di pinggiran kota Bandung, ketika masih mahasiswa di Technische Hoogeschool te Bandoeng sekarang ITB.
Peristiwa itu tertuang dalam buku “Biografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, karya Cindy Adams.
Bung Karno saat itu menjumpai seorang petani sedang menggarap tanah yang luasnya tidak cukup untuk makan bersama dengan keluarga. Namanya Marhaen.
Marhaen itu petani, rakyat kecil, menggarap tanah sendiri, memiliki gubuk (tempat tinggal) sendiri, cangkul (alat produksi) sendiri, tetapi, hasil yang ia dapatkan tidak cukup untuk hidup dan makan bersama sanak keluarga.
Marhaen berbeda dengan proletar, yang bekerja pada kaum kapitalis. Itulah ke – khasan pikiran Bung Karno di banding Karl Marx. Meski pikirannya diilhami Marx.
Akhirnya, karena urusan infrastruktur kepulauan Sumenep yang terkesan setengah hati, khususnya poros Arjasa – Kangayan, maka saya berkesimpulan:
Infrastruktur Kangean terabai karena Bupati Sumenep bukan Marhaenis, tidak memihak kaum Marhaen. Terdapat pula pihak, baik unsur Pemerintah, swasta dan masyarakat yang cenderung melakukan moral hazard, tidak jujur, buruk perilaku, dan lain-lain dengan berbagai macam bentuk, sehingga menimbulkan terjadinya tragedy of the commons yang merugikan kita semua.
Solusinya tergantung pada leader. Dalam konteks ini Bupati Sumenep.
Saran saya untuk Bupati Sumenep :
- 1. Hentikan melakukan personalisasi – politisasi reaktivasi kereta api Madura yang seolah-olah merupakan gagasan murni Achmad Fauzi. Padahal bukan. Fokuslah membangun Sumenep.
- 2. Jadilah Marhaenis sejati, yang mengamalkan Ideologi Marhaenisme, yang benar-benar memihak kaum Marhaen (rakyat kecil), sebagaimana ajaran Bung Karno. Itulah cita-cita PDIP.
- 3. Buktikan di masa saudara menjabat Bupati Sumenep, infrastruktur jalan, khususnya di kepulauan, lebih khusus lagi poros Arjasa – Kangayan terlaksana dengan baik.
Dengan begitu, tidak perlu cari muka untuk mencari dukungan menuju tangga berikutnya. Itu saja terbukti, saya yakin banjir dukungan.
Jika tidak, pasti saudara hanya didukung oleh kelompok ABS dan semua kata-katamu terasa seperti JAMBU (Janji Busuk).
Salam dari kami.
Sahabat anak pulau.
Merdeka…!!!