Oleh: Sulaisi Abdurrazaq
(Praktisi Hukum dan Alumni Pasca Politik Universitas Indonesia)
TROL, BAYANGKAN, mobil raja properti dicegat bandit-bandit bersenjata. Senjata mereka adalah KEKUASAAN.
Raja properti diseret ke rumahnya. Ia diminta menyerahkan uang, mobil, sepeda listrik dan tanah dengan sertipikat yang dimanipulasi.
Lalu, apa yang diperoleh raja properti? Hanya sebuah harapan, agar dapat hidup bertetangga dengan damai dan harmonis bersama bandit-bandit. Hidup tak diganggu dan selamat.
Apakah itu semacam kompromi? Ya, kompromi semacam itulah yang dihadapi raja properti di Sumenep. Jahat sekali.
Apakah kompromi semacam itu tidak boleh karena rawan terjebak “api neraka”?. Arroosii wal murtaasii finnaar, atau tidak boleh karena potensial masuk perangkap korupsi?.
Hanya pikiran tak waras yang mengatakan kompromi semacam itu tindakan bersekutu dengan bandit, meski mungkin bandit-bandit itu menggunakan uang, mobil, sepeda motor dan tanah tadi untuk perampokan-perampokan baru.
Mengapa? Karena hanya itulah yang harus dilakukan oleh raja properti agar tidak dimutilasi. Tak ada jalan lain.
Banditisme yang bertransformasi dari roving bandit theory menjadi stationary bandit itu mengancam demokrasi di Sumenep. Hukum harus bisa memangkasnya.
Kekuasaan dalam kendali Bupati didukung paling tidak dua instrumen: legal formal dan ekstra legal.
Instrumen pertama bisa saja birokrasi yang sah dan bertugas untuk penguasa.
Agus Dwi Saputra selaku Kadisdik Sumenep yang disebut-sebut dalam beberapa berita meminta jatah tanah 150 meter persegi kepada raja properti dapat menjadi salah satu contoh praktik banditisme transformatif.
Apalagi jika dikaitkan dengan dua tas kresek hitam total 1.650 Milyar yang diantar siang hari dan diterima si bandit di rumahnya sekitar jam satu siang hari sebagaimana telah ribut di beberapa media.
Instrumen kedua bisa saja mereka yang dibiayai oleh kekuasaan untuk bekerja menguatkan energi banditisme, baik buzzer, aktifis nakal atau media-media pro bandit.
Hukum dan demokrasi kita sedang dilahap hama. Digerogoti rayap sehingga demokrasi keropos.
Bupati A, Bupati B, Bupati C dan Bupati D, Sekda A, Kadis, Camat dan lain-lain adalah pasukan ekstra legal yang merusak seluruh tatanan hukum dan demokrasi.
Bupati A dan Bupati B patut diduga sebagai penerima upeti dalam satu urusan yang sama. Bupati A “masih menjabat”, Bupati B adalah Bupati sebelumnya.
Bupati A disebut juga M1. Tercatat sebagai penerima upeti yang tercatat secara terperinci sebagai pengeluaran tanggal 16 Desember 2021 dan dicairkan tanggal 20-12-21.
Sementara Bupati B, tercatat memperoleh tanah dengan SHM No. XXX atas nama istrinya. Tanah itu di taksir milyaran rupiah, tapi dibayar dengan janji palsu.
Ketika Bupati B menjabat, aset itu tercatat atas nama Nur Fitriana. Letaknya strategis di pinggir jalan. Luasnya 980 meter persegi. Padahal, Bupati B hanya bermodal jasa yang jelas “kadaluarsa.”
Merekalah yang mencegat laju raja properti yang saat ini sedang berjuang sendirian.
Mereka datang untuk merampok, tapi hilang begitu raja properti digesek penyidik Tipikor Polda Jatim.
Saat ini raja properti menggugat Polda Jatim melalui saluran pranata praperadilan di Pengadilan Negeri Surabaya, untuk menguji penetapan dirinya sebagai Tersangka Tipikor TKD Kolor Kecamatan. Kota Sumenep, Cabbiya dan Talango Kecamatan. Talango. Meski praperadilan jarang bisa berhasil.
Sementara itu, dokumen-dokumen kejahatan para bandit sedang saya rangkai untuk dikirim ke Kejagung dan KPK melalui mekanisme Surat Pengaduan, supaya hukum bisa tegak, termasuk bagi bandit-bandit birokrasi yang bekerja untuk penguasa.
Jika raja properti harus jatuh ke tubir, tugas saya sebagai Penasehat Hukum adalah: mengikatkan tali ke leher para bandit, agar klien saya tak sendiri meringkuk di balik jeruji.
Kita uji, apakah bandit-bandit ini lolos, atau terpaksa ikut meringkuk.
Yakinlah, kau pasti memetik buah yang kau tanam. Pesan penutupnya: “DO UT DES”.
Venceremos!