Oleh : hartono
TROL – Seorang oknum anggota polisi Polres Sumenep bertindak sebagai salah satu saksi dan tanda tangan pada surat perdamaian soal kasus pencabulan yang terjadi pada anak dibawah umur. Perjanjian itu dilaksanakan di balai desa Pangarangan kabupaten Sumenep Jawa Timur pada 8 Mei 2024 .
Anggota polisi itu ternyata sebagai Bhabinkamtibmas diwilayah Hukum polsek setempat.
Terkait soal ini Kapolres Sumenep harus menjelaskan, sebab sebagian orang beranggapan kasus ini bukan delik aduan.
Diketahui surat perdamaian seolah-olah kasus itu tidak dilanjut ke penyidikan meski kasus itu telah beredar ke sebagian warga Sumenep.
Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015, tugas pokok Bhabinkamtibmas adalah melaksanakan pembinaan masyarakat, deteksi dini, serta mediasi atau negosiasi guna menciptakan kondisi yang lebih kondusif di desa atau kelurahan.
Adapun wewenang Bhabinkamtibmas diatur pasal 28 Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015, tidak serta merta turut jadi saksi dalam upaya damai pada kasus pencabulan pada anak. Sebab kasus pencabulan telah diatur secara khusus.
Bahkan penyidik kepolisian pun tidak boleh melakukan upaya damai Atau mendamaikan terkait kasus persoalan anak, terlagi itu kasus kekerasan seksual, karena kasus kekerasan seksual menjadi atensi pemerintah pusat, bahkan UU yang dibuat begitu serius, sehingga menjadi kasus lexspesialis anak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA RI) Bintang Puspa Yoga pada sebuah kesempatan mengatakan, pada UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pasal 23 menegaskan tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Lebih lanjut, pada pasal 76D UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, jo pasal 6 Ayat (1) jo pasal 7 UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menegaskan persetubuhan terhadap anak atau pelecehan seksual secara fisik terhadap anak, bukanlah delik aduan, tetapi delik biasa.
“Berpedoman pada kedua UU Perlindungan Anak dan UU TPKS tersebut, polisi dapat memproses informasi adanya kasus kekerasan seksual terhadap anak, tanpa harus menunggu adanya laporan dari pelapor atau korban kepada Polisi,” jelas Menteri PPPA, Kamis (19/1/2023), mengutip infopublik tanggal yang sama.
Pada kasus itu korban tak harus lapor hal ini penting untuk diketahui publik bahwa dari rumusan regulasi tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, tidak ada keharusan bagi korban untuk membuat laporan ke pihak kepolisian.
Setiap orang yang mengetahui dugaan terjadinya tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dapat membuat laporan ke polisi.
Tanpa menunggu laporan, Polisi semestinya mengusut jika mengetahui perkara tersebut baik dari pemberitaan atau media sosial atau sarana lainya.
Karena tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak termasuk dalam kualifikasi delik umum, maka proses pidananya tidak dapat dicabut atau dihentikan dengan alasan terjadinya perdamaian antara keluarga korban dengan pelaku.
Proses pemidanaan terhadap pelaku kejahatan harus dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku Penyelidikan Hanya bisa dihentikan jika penyidik merasa tidak cukup bukti untuk melanjutkan proses hukum.
Anehnya kasus pencabulan di Sumenep Polisi ikut andil dalam perdamaian entah bagaimana konstruksinya dan regulasi apa yang digunakan padahal sebab disitu nyata-nyata mereka ikut bertanda tangan di dalam surat perjanjian.
(penulis adalah kepala biro transindoneasia, pengurus pwri, tinggal di sumenep-madura)