Oleh: hartono
(TransIndonesia Sumenep)
TROL – Kekerasan seksual pada anak di bawah umur terus saja terjadi Dikabupaten Sumenep Jawa Timur. Salah satunya kasus tersebut terjadi di desa Pangarangan kecamatan kota, yang dilakukan oleh seorang guru ngaji inisial Rs kepada 6 santrinya Perbuatan cabul tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
Dalam kamus Bahasa Indonesia cabul diartikan sebagai: keji dan kotor, tidak senonoh, melanggar adat, dan susila, melanggar kesopanan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada penjelasan pasal 289 yang dimaksud dengan perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu kelaminnya, seperti bercium-ciuman, meraba raba anggota kemaluan, meraba raba anggota tubuh lainnya, seperti meraba bagian dada, dan sebagainya.
Kesusilaan adalah suatu perbuatan yang melanggar norma kesusilaan yang kerap berhubungan dengan nafsu seksual yang bisa terjadi dimana saja.
Kejahatan atau pelanggaran terhadap kesusilaan tidak hanya terjadi pada wanita atau pria dewasa saja, akan tetapi bisa juga terjadi pada anak-anak.
Pencabulan terhadap anak yang dilakukan oleh guru dengan cara bujuk rayu, dengan ancaman kekerasan, atau dengan paksaan, atau dengan cara lain, maka guru yang menjadi pelaku pencabulan terhadap anak, secara khusus dapat dikenakan sanksi berdasarkan pasal 82 junto Pasal 76E UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 5 miliyar.
Jika perbuatan cabul tersebut dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3. Jadi guru yang melakuan pencabulan terhadap anak didiknya pidananya ditambah 1/3 .
Kasus Berhenti
Kasus yang terjadi di desa Pangarangan merupakan kasus pidana murni. Artinya polisi sudah bisa ambil tindakan terukur tanpa menunggu pengadu/pelapor. Namun hingga kini kasus ini tidak ada kelanjutan proses hukum.
Kasak- kusuk terdengar telah terjadi kesepakatan damai yang ditandatangani di balai desa setempat. Meski banyak pihak beranggapan ini tetap kasus pidana murni.
Oknum Polisi dan Babinsa Jadi saksi
Perdamaian yang ditandatangani itu sepertinya tak pedulikan masa depan anak (korban).
Entah bagaimana awal konstruksinya nyata-nyata mereka bertanda tangan, sekaligus para saksi yang diantaranya oknum anggota polres Sumenep dan anggota TNI Kodim Sumenep yang keduanya ditengarai sebagai Bhabinkamtibmas dan Babinsa desa setempat.