Oleh Ninik Muyasrifah, S. H
foto : ilustrasi/suluhperempuan.org
TROL, – Kini ratusan juta rupiah mengalir ke desa – desa yang disebut dengan Dana Desa (DD) pasca pemberlakuan undang-undang tentang desa .
Dengan undang-undang desa, alokasi anggaran dana yang besar itu bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat di desa. Termasuk untuk kaum perempuan di desa.
Soal perhatian terhadap perempuan di desa ini penting. Sebab perempuan minim dalam proses pengambilan kebijakan politik desa.
Persoalan Kaum Perempuan di Desa
Sejak lama, desa selalu menjadi penyumbang kemiskinan terbesar di Republik ini. Pada tahun 1976, jumlah penduduk miskin di desa mencapai 44,2 juta orang atau 81,5 persen dari total penduduk miskin. Pada tahun 2012, sebanyak 63,45 persen orang miskin di Indonesia tinggal di pedesaan.
Situasi tersebut juga sangat berdampak pada perempuan desa yang sangat rentan terhadap dampak kemiskinan.Diantara faktornya antara lain :
Pertama, penyingkiran perempuan dari lapangan produksi, terutama di sektor pertanian. Kebijakan neoliberal melalui liberalisasi investasi dan liberalisasi impor pangan berkontribusi besar dalam penghancuran sektor pertanian. Liberalisasi investasi memicu perampasan lahan milik petani. Pada gilirannya, banyak perempuan yang terpaksa berperan sebagai ‘pencari nafkah’ untuk keluarganya dengan bekerja di kota atau menjadi buruh migran di luar negeri.
Kebijakan neoliberal, yang bertumpu pada pertumbuhan, tidak menghitung kontribusi produksi skala kecil atau pertanian subsisten. Akibatnya, perempuan yang menjalankan produksi pangan tergusur. Banyak kebutuhan pangan, seperti cabai, tomat, kedele, dan lain-lain, diperoleh dari perusahaan agro-bisnis, bukan lagi dari tangan produsen perempuan.
Kedua, kaum perempuan di desa kurang mengakses sarana yang berhubungan dengan pengembangan kapasitas dirinya.Mereka sebagian besar disibukkan dengan urusan domestik keluarganya. Akhirnya, ketika perempuan dipaksa oleh keadaan untuk bekerja, maka lapangan pekerjaan yang dimasuki pun berhubungan dengan urusan domestik: pekerja rumah tangga, perawat bayi dan lansia.
Ketiga, susunan sosial masyarakat desa yang cenderung patriarkat, yang masih menempatkan kaum perempuan tetap berada di domestik keluarga, menghambat kaum perempuan untuk tampil leluasa di ruang publik. Akibatnya, kaum perempuan kurang berperan dalam perumusan kebijakan politik desa.
Tidak dapat ditampik, bahwa untuk menuju masyarakat yang adil harus disertai dengan penghapusan segala bentuk diskriminasi didalamnya
Peluang UU Desa
Undang – undang Desa dapat mengobati atau mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh rakyat di desa, termasuk perempuan, sehingga tercipta tatanan sosial desa yang demokratis dan bermartabat.
Dalam UU Desa disebut cita-cita yang mulia, seperti mendorong partisipasi warga desa termasuk kaum perempuan dalam mengelola aset desa untuk kesejahteraan bersama. Nah, pertanyannya kemudian, bagaimana itu bisa terjadi?
Pertama, UU Desa harus menjamin akses kaum perempuan terhadap tanah sebagai alat produksi terpenting di pedesaan. Tanpa akses terhadap tanah, tidak mungkin berbicara kesejahteraan rakyat desa, termasuk perempuan.
Masalahnya, UU Desa tidak menyinggung soal land-reform. Padahal, land-reform merupakan syarat mutlak untuk mendistribusikan tanah sebagai alat produksi bagi rakyat di desa, termasuk kaum perempuan.
Kedua, mendorong kaum perempuan agar bisa berproduksi,diantaranya pelibatan perempuan dalam pengelolaan BUMDES
Seharusnya, UU Desa ini secara gamblang memberikan jaminan kepada kaum perempuan untuk tampil dalam wilayah politik lebih luas. Termasuk memberikan ruang seluas-luasnya bagi kaum perempuan untuk ikut terlibat langsung dalam proses penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut pengembangan dan pembangunan desa.
Masalahnya, partisipasi warga hanya mungkin terjadi kalau mereka berkesadaran dan terorganisir. Karena itu, perlu upaya untuk mendorong kaum perempuan di desa untuk berorganisasi dan berpolitik. Kaum perempuan harus diberikan keleluasaan berorganisasi di luar organisasi yang sudah ada, yakni Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Dengan demikian, UU Desa masih butuh perbaikan. Selain itu, perlu pemastian agar UU Desa, termasuk anggarannya yang digelontorkan, benar-benar diarahkan untuk kemajuan rakyat di desa, termasuk perempuan.*(penulis adalah alumni Fakultas Hukum Unita,juga sebagai Kepala KB Mutiara Ceria, tinggal di Tulungagung)
*sumber : Rini S.Pd, Koordinator Hubungan Internasional Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini,Berdikarionline edisi 22 Pebruari 2015 .