Oleh: Sulaisi Abdurrazaq
“Bangsa Indonesia nampaknya tengah terjerumus ke dalam satu situasi dimana batas antara benar – salah, baik – jahat, moral – amoral menjadi kabur dan simpang siur. Kita berada pada satu keadaan “ketidakpastian moral” (indeterminancy of moral), pada satu garis abu-abu moral, pada satu titik ambiguitas moral”.
Yasraf Amir Piliang
MALAM itu. Taburan gemintang kedap kedip di langit cerah. Seumpama gadis desa, sengaja main mata, menggoda goda.
Udara sesekali meniup dahan dan ujung dedaunan yang baru kuncup, melongok ke arah dua sahabat yang duduk di bawah langit gemerlapan, bersila di ruang hampa dengan dada rusuh, berdua pelototi sutera terawang. Aurat. Mereka itulah Upin dan Ipin.
- Video itu jelas, bukan sekadar pornokitsch. Wajah dan lawan pemerannya sama-sama politisi, hanya berbeda parpol.
- Sang kumbang aktifis Parpol hijau, si kupu-kupu srikandi Parpol merah.
- Yang satu Ketua Fraksi, satunya permaisuri. Tampak semacam cinta terlarang, cinta segitiga.
- Ketika bibir permaisuri “melumat eskrim” si kumbang, Upin menelan ludah, menggigit bibir dan geleng kepala. Nalarnya terhenti, libidonya seketika membuncah hingga ubun-ubun, tak mampu sembunyikan suasana erotik dan sensual.
Upin tiba-tiba menarik nafas, lalu berdiri.
“Kasian sekali si Raja, terus menerus merawat tahta, namun gagal menjaga permata.” Celoteh Upin merongos-rongos.
Ipin hanya ketawa. Tak menggubris.
Raja pasti tak sadar permaisuri selingkuh. Karena, saban hari kecantikan permatanya itu tak henti-henti dipamerkan ke ruang-ruang publik. Medsos, bener dan flyer di mana-mana.
Menurut Ipin, sang Raja fatal fatal, karena mentolerir permaisuri masuk ke arena politik, menjadi legislator cantik, tanpa hirau banalitas. Terlalu percaya. Karena tugas masing-masing, sering long dintance.
Peristiwa itu, Meminjam istilah Yasraf Amir Piliang (2003), menjelma semacam libidonomics, sebuah sistem pendistribusian rangsangan, rayuan, kesenangan, dan “kegairahan” dengan menyuguhkan unsur-unsur sensualitas.
Sang Raja seharusnya belajar dari peristiwa sejarah, cinta segitiga Ken Arok, Ken Dedes dan Tunggul Ametung.
Sebagai penguasa, Tunggul Ametung akhirnya frustasi. Situasi politik membuatnya stres. Ia sulit percaya pada pasukannya, bahkan pada bayang – bayangnya sendiri.
Hanya sang permaisuri, Ken Dedes yang diharap menjadi penyejuk jiwanya. Ia tak sadar, Dedes telah selingkuh dan bersekongkol dengan Arok.
Akhirnya, atas bantuan Ken Dedes, Tunggul Ametung, penguasa Tumapel, tewas di tangan Arok, diterjang keris Empu Grandring. Lalu, Ken Arok berkuasa, menjadi Raja Singhasari dengan dua permaisuri, Ken Umang dan Ken Dedes. Tamatlah riwayat Tunggul Ametung.
Kisah ini sekaligus peringatan bagi penguasa, yang saat ini bisa saja dikenal dengan sebutan Bupati, Wali Kota, atau sebutan lainnya. Berilah perhatian lebih pada permaisurimu (*).