TROL- Pemerintah tengah menyusun skema penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) untuk mengurangi beban subsidi dari APBN. Bola panas mengenai harga BBM pada akhirnya berada di tangan Presiden Joko Widodo.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya sempat menyebut bahwa Kepala Negara akan mengumumkan kenaikan BBM pada pekan depan.
Teranyar bisnis.com merilis, Luhut mengatakan saat ini pemerintah tengah menghitung beberapa skenario penyesuaian subsidi dan kompensasi energi dengan memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat. Kendati demikian, dia menegaskan keputusan akhir akan berada di tangan Presiden Jokowi.
“Yang perlu diingat, keputusan akhir tetap di tangan Presiden. Namun langkah awal yang perlu dilakukan adalah memastikan pasokan Pertamina untuk Pertalite dan Solar tetap lancar distribusinya,” jelasnya dalam keterangan resmi hari ini, Minggu (21/8).
Salah satu skenario yang dibahas, kata Luhut, adalah pembatasan volume BBM yang disubsidi pemerintah. Saat ini, nilai subsidi BBM yang telah dikucurkan dari APBN telah mencapai sekitar 502 triliun. Luhut memprediksi subsidi bisa bengkak menjadi 550 triliun pada akhir tahun apabila tidak ada penyesuaian harga.
“Pemerintah masih menghitung beberapa skenario penyesuaian subsidi dan kompensasi energi dengan memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat. Tapi untuk diketahui, Harga BBM di Indonesia relatif lebih murah dibanding mayoritas negara di dunia,” ujarnya.
Merilis bisnis.com,sebelumnya, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menegaskan lembagannya tidak bakal menyetujui usulan pemerintah menambah kuota BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar masing-masing sebesar 5,45 juta kiloliter dan 2,28 juta kiloliter pada akhir tahun ini.
Konsekuensinya, pemerintah mesti segera membatasi pembelian BBM bersubsidi sembari menyesuaikan kembali harga jual di tingkat konsumen.
“Tidak akan ada penambahan subsidi. Pilihan yang bisa ditempuh pemerintah adalah menaikkan harga energi yang disubsidi dengan mempertimbangkan dampak inflasi dan daya beli rumah tangga miskin,” kata Said,Senin (15/8).
Di sisi lain, Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa kondisi masyarakat saat ini belum siap menghadapi kenaikan harga BBM. Apalagi, setelah inflasi bahan pangan (volatile food) secara tahunan hampir menyentuh 11 persen (year-on-year/yoy) pada Juli 2022.
Menurutnya, masyarakat kelas menengah yang sebelumnya mampu membeli Pertamax, berpotensi ramai-ramai bermigrasi ke Pertalite. Jika harga Pertalite juga ikut naik, maka kelas menengah akan mengorbankan belanja lainnya sehingga dapat berimbas kepada hal-hal lain seperti serapan tenaga kerja.
“Yang tadinya bisa belanja baju, mau beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru, akhirnya tergerus untuk beli bensin. Imbasnya apa? Permintaan industri manufaktur bisa terpukul, serapan tenaga kerja bisa terganggu. Dan target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar,” kata Bhima kepada Bisnis, Minggu (21/8).
Masyarakat saat ini masih menunggu kebijakan dan langkah apa yang akan diambil pemerintah dalam mengatur harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite.
Kalau Pertalite naik, bagaimana dampaknya bagi masyarakat kelas menengah ke bawah?
Konsumsi Pertalite di Indonesia mencapai 80 persen dari total bensin, sehingga kenaikan harga Pertalite tentu akan mendorong kenaikan inflasi.
Secara historis, pada 2014 misalnya, saat harga BBM jenis Premium yang saat itu paling banyak dikonsumsi, dinaikkan pada bulan November hingga 30 persen. Inflasi kemudian melesat hingga 8,36 persen (yoy).
Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38 persen (yoy).
Dampak kenaikan BBM ternyata tidak hanya pada ekonomi, tapi juga akan berimbas pada aspek sosial masyarakat Indonesia.
BBM sangat diperlukan untuk operasional perusahaan, sehingga jika harganya kian mahal maka akan membebani biaya produksi hampir seluruh sektor dan lini bisnis.
Akibatnya, perusahaan akan meminimalisir biaya operasional, misalnya dengan menghentikan rekrutmen karyawan baru hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Kenaikan BBM berpotensi akan meningkatkan angka pengangguran yang tentunya akan menambah tingkat kemiskinan Indonesia. Padahal, per Maret 2022, BPS telah melaporkan adanya penurunan tingkat kemiskinan setelah pandemi.
Tingkat kemiskinan per Maret mencapai 9,54 persen atau 26,16 juta orang. Turun 0,6 poin atau 1,38 juta orang. Sementara dibandingkan September 2021 penurunan tingkat kemiskinan mencapai 0,17 poin atau 0,34 juta orang.
Namun, garis kemiskinan mengalami kenaikan 3,975 persen dibandingkan September 2021 menjadi 505.469 pada Maret 2022.
Bukan hal yang tak mungkin, jika tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan yang meningkat akan menimbulkan kekacauan hingga demo.
Jika berkaca pada 2013 silam, ratusan mahasiswa dan buruh menggelar demo menolak kenaikan BBM di depan Istana Negara, Pertamina, hingga Kementerian Energi dan Daya Mineral (ESDM).
Hal tersebut seharusnya dapat menjadi pembelajaran. Sebelum pemerintah menaikkan harga BBM, sebaiknya mencermati beberapa poin seperti tingkat inflasi dan daya beli masyarakat.
Konsumsi masyarakat Indonesia berkontribusi sebanyak 50 persen terhadap PDB, sehingga jika inflasi meninggi tentunya akan membatasi konsumsi masyarakat dan ikut mengerek turun PDB.
Sinyal-sinyal kenaikan harga BBM Pertalite ini sudah sering mencuat, baik itu dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.
“Harga Pertamax keekonomian 15.150 namun di eceran masih 12.500 per liter. Dan Pertalite keekonomiannya 13.150 tapi ecerannya 7.650 per liter,” ungkap Menko Airlangga dalam Konferensi Pers Nota Keuangan dan RUU APBN 2023, Selasa (16/8).
Menko Airlangga juga membandingkan harga BBM Pertalite dan Pertamax di RI yang masih jauh di bawah harga BBM dari negara-negara tetangga. Misalnya saja Thailand yang menjual BBM dengan harga 19.500 per liter. Kemudian Vietnam 16.645 per liter dan Filipina mencapai 21.352 per liter.
Adapun Bahlil menyadari bahwa kenaikan harga BBM di dalam negeri bisa menimbulkan gejolak di masyarakat. Namun demikian, kondisi keuangan negara dalam menahan kenaikan harga BBM sudah terbata-bata.
“Saya menyampaikan sampai kapan APBN kita akan kuat menghadapi subsidi yang lebih tinggi, jadi tolong teman-teman sampaikan juga kepada rakyat bahwa rasa-rasanya sih untuk menahan terus dengan harga BBM seperti sekarang feeling saya harus kita siap-siap kalau katakanlah kenaikan BBM itu terjadi,” kata Bahlil. (Winarto , pimpinan redaksi naskah disarikan dari bisnis.com dan cnbc-indonesia)