foto:Mayor R. A. Mangkuadiningrat saat aktif di militer/doc. keluarga/istimewa
TROL,Sumenep – Nama Mayor Raden Ario Mangkuadiningrat sangat dikenal di Sumenep,umumnya di pulau Madura.
Ia juga dipanggil” Ja-Mangko” merupakan salah satu tokoh yang berperan dalam mempertahankan kedaulatan RI .
Barisan-barisan militer yang baru terbentuk, adalah Sabilillah yang berbasis pesantren bahu membahu mengusir Belanda untuk kedua kalinya.
Pertempuran yang dikenal dengan “clash “di tahun 1946-1947, Mayor Mangkuadiningrat merupakan salah satu tokoh yang berada di balik perjuangan tersebut.
Lantaran berasal dari kalangan bangsawan membuat pengaruh militernya di kalangan pejuang sangat besar.
Asal Usul Hingga Masuk Militer
Raden Ario Mangkuadiningrat sebelumnya bernama R.B.Ahmad Murtadla lahir di Sumenep pada tahun 1904 Masehi. Ayahnya bernama Raden Ario Mangkuamijoyo (Amir), dan ibunya bernama Raden Ajeng Zamzamiyah.
Secara nasab, dari pihak laki-laki (pancer) ayahnya berasal dari keluarga bangsawan Pamekasan yang bersusur galur ke keluarga Cakraningrat Bangkalan.
Kakek dari pihak ayahnya adalah upati Pamekasan yang mengundurkan diri, yaitu Pangeran Adipati Suryokusumo (Raden Banjir).
Hubungan dengan Keraton Sumenep didapat dari pihak ibu Pangeran Adipati Suryokusumo, yaitu Raden Ajeng Afifah atau Ratu Pamekasan, putri sulung Sultan Sumenep, Abdurrahman Pakunataningrat.
Sedangkan ibu dari Raden Ario Mangkuadiningrat, Raden Ajeng Zamzamiyah adalah keturunan langsung dari Kangjeng Kiai Adipati Ario Suroadimenggolo ke-V, Kepala Adipati atau hoofd regent di Semarang yang diasingkan hingga ke Sumenep, karena antipatinya terhadap Belanda.
Ja-Mangko atau Pak Mangku merupakan anak pertama dari 7 bersaudara. Selepas menjalani pendidikan umum Pak Mangku mengikuti pendidikan militer di Malang.
Pak Mangku bergabung di kemiliteran hingga kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Resimen 35 Jokotole Madura yang berkedudukan di Pamekasan.
“Jabatan bapak waktu itu Kepala Staf Resimen dengan pangkat Mayor. Sedangkan komandan resimennya ialah pak Letnan Kolonel R Candra Hasan,” kata Mohammad Mangku,sang putra
Bahkan Ja-Mangko ditunjuk sebagai komandan Resimen tahun 1947 saat terjadi peristiwa ‘class” Penunjukan terjadi hingga Kolonel Candra kembali dari ibu kota negara Yogyakarta.
Sering Lolos Dari Maut
Tahun 1947 sejatinya adalah titik awal kiprah Pak Mangku dalam militer. Karena saat itulah sepak terjangnya dalam perang terbuka dengan penjajah.
Kala itu, pertama kali dimulai dari peristiwa Bangkalan, saat Belanda dengan membonceng Inggris mendarat di Madura. Dalam peristiwa itu, gugur sebagai syahid Letnan R. Mohammad Ramli di Kamal.
Pak Mangku segera menarik anak buahnya mundur menyusuri pesisir utara hingga berhasil kembali ke markas Resimen di Pamekasan. Belanda terus menyusul sehingga kontak fisik terjadi lagi di Pamekasan hingga dua kali.
Peristiwa itu mengakibatkan gugurnya banyak personel resimen, salah satunya Kapten Tesna.
Akhirnya Pak Mangku memerintahkan anak buahnya mundur ke timur. Dalam perjalanan mundur beliau berkali-kali hampir terbunuh. Hingga akhirnya persembunyi di desa Karduluk diketahui. Saat itu beliau hanya ditemani ajudannya, Salam.
Belanda kemudian meminta salah satu keluarga Pak Mangku untuk membujuknya menyerah, namun ditolaknya. Akhirnya kontak fisik terjadi di Karduluk. Pak Mangku berhasil lolos.
”Bapak turun ke utara. Namun akhirnya tertangkap di kampung Leke Dalem, desa Bilapora. Selanjutnya beliau ditawan di Tangsi (saat ini kodim), selama beberapa bulan. Dan bulan Maret 1948 dibawa ke Pamekasan dan di sana dilepaskan dengan syarat tak boleh mengangkat senjata lagi,” cerita Mohammad Mangku.
Perjanjian Pamekasan.
Dari Pihak Belanda diwakili Mayor D. Swemel dan di pihak Indonesia diwakili oleh Mayor Mangkuadiningrat. Hasilnya pihak Belanda bersedia keluar dari Madura, dengan ditandai dengan dinaikkannya Bendera Merah Putih di Karesidenan Madura.
Wafat
Tahun 1950 merupakan tahun terakhir Pak Mangku di militer. Beliau mengundurkan diri dengan alasan Indonesia sudah aman dari perang.
Beliau banyak menyibukkan diri dengan aktivitas niaga, dan juga mengurus organisasi perkumpulan famili keluarga bangsawan di Sumenep. Beliau wafat tanggal 25 januari 1980 dengan meninggalkan seorang isteri dan 9 putra putri.
Jenazahnya di makamkan di pemakaman Asta Tinggi Sumenep.
(sutomo dari berbagai sumber)