Opini  

Kebobolan APBD, Anggaran Seragam Di Mark-up Seratus Persen

                         Oleh : Fauzi As

                             Lembar VI.

TROL – Ribut-ribut di tetangga sebelah, di bulan April lalu bermula dari selisih paham antara suami istri. Keributan terjadi terkait anggaran pembelian seragam sekolah untuk anaknya sendiri.

Mbak Etti, dia ibu dari dua anak kembar yang baru mendaftar masuk sekolah dasar. Ia pamit mau membelikan seragam untuk anaknya.

Dua orang anaknya bernama Novan dan Novin. Tetapi hanya Novin yang masih belum dibelikan, Novan sudah dipesankan oleh Kakeknya.

Waktu itu sang kakek berpikir simpel. Dia berinisiatif mendatangi pak Maman tukang jahit di sebelah rumahnya. Memang kehidupan pak Maman “penjahit” serba pas pasan, maka kakek tua itu berpikir berbagi rezeki meski hanya jadi sesuap nasi.

Sampai di rumah Maman sang kakek bertanya. Berapa harga seragam paling bagus untuk si Novan cucunya yang kelas satu.

Maman kemudian menghitung mulai harga bahan baju dan celana yang totalnya Rp 30.000 dengan ongkos jahit Rp 50.000.

Kakek bertanya lagi. Apakah itu sudah bagus seperti merek teladan…?

Maman menjawab itu sudah lebih bagus dari merek itu. Total harga seragam jadi Rp 80.000

Kemudian sang kakek membayar dengan uang pecahan Rp 100.000. Lalu si kakek berucap, sisanya buat kamu man.

Maman merasa bahagia mendapat bayaran lebih dari biasanya, dia merasa diperhatikan oleh kakek itu.

Lanjut kecerita Mbak Etti yang Meminta anggaran seragam Rp 200.000, Agus sang suami tetap keberatan dengan permintaan uang seragam yang dia anggap terlalu mahal menurut dia harga itu selisih lebih dari 100%.

“Mahal itu ma, mending kita pesan saja di tempat pesanan bapak kemarin, di pak Maman. Masak harganya lebih dua kali lipat,” Kata Agus kepada Mbak Etti seraya membandingkan harga seragam pesanan sang kakek (orang tuanya).

” Hitung-hitung ini pemberdayaan. Kita berbagi manfaat,” ujarnya lagi.

Namun Etti tetap kekeh meminta uang Rp 200.000. Untuk meyakinkan Istrinya, Agus menunjukkan harga seragam sekolah di toko pedia.

“Coba ini lihat harga seragam lengkap, baju, celana, topi, sabuk, dasi dan kaos kaki, hanya Rp 100.000. Itu sudah bagus,” tambahnya, sambil mengirimkan Link toko padia.

https://tokopedia.link/TAYZ7AFxNvb

Agus menganggap istrinya melakukan pemborosan terhadap Anggaran Pokok Belanja Dapur (APBD).

Namun Mbak Etti tetap ngotot dengan alasan nanti kalau ada sisanya akan dikembalikan.

“Walah ini benar-benar Kebobolan APBD (Anggaran Pokok Belanja Dapur). Seragam Novin di mark-up 100%,” ungkap Agus dalam hatinya.

Cerita diatas mengingatkan saya pada pemberitaan salah-satu media yaitu beritajatim.com tayang pada hari Senin, 23 Mei 2022, 18:56 WIB dengan judul :

“Gandeng Penjahit Lokal Pemkab Sumenep Bagikan Seragam Gratis Bagi Murid SD”

Ada beberapa poin yang saya highlight dari berita dengan judul diatas.

1. Program seragam gratis ini sebagai upaya pemenuhan sarana dan prasarana guna peningkatan kualitas pendidikan di Sumenep.

Hal itu memunculkan banyak spekulasi yang berbeda. Apa relevansi seragam gratis dengan peningkatan mutu pendidikan di Sekolah Dasar?

Jika tujuannya peningkatan kualitas pendidikan harusnya lebih diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi penentu mutu dan kualitas dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM). Tetapi hal ini sekedar pendapat dari pemerhati saja atau sekedar opini belaka.

2. Selain itu Pak Kadis Pendidikan memberikan penjelasan bahwa program seragam gratis ini untuk meringankan beban para wali murid.

Namanya saja seragam gratis pastinya membantu, hanya saja siapa kira-kira yang paling diuntungkan dan merasa terbantu dari proyek ini.

Wali murid kah..? Penjahit/UMKM kah… ?Kontraktor…? Makelar…? Atau adakah yang sering bersembunyi dalam ruang gelap Pendopo?

Pertanyaan selanjutnya sudah tepatkah timingnya? Llu Mungkinkah masih ada wali murid yang belum membeli seragam pada Desember 2022?

Ya biar wali murid dan UMKM saja yang berpikir lalu memberi kesimpulan dalam hatinya masing-masing.

3. Sang Kadis juga mengatakan bahwa seragam gratis yang diberikan kepada para siswa nantinya bukan merupakan produk pabrikan.

“Seragam gratis tersebut akan digarap oleh para penjahit lokal”

Pernyataan diatas penting untuk kita kuliti. Sebab itu berkaitan dengan komitmen dan janji Bupati Sumenep khususnya dalam peningkatan kesejahteraan dan daya saing UMKM.

“janji seorang pemimpin tidak seperti meludah dialiran sungai lalu terhanyut dan menghilang.”

Tidak juga seperti janji seorang ibu mau membelikan mainan anaknya asal berhenti menangis. Kalau waktunya mundur tinggal bilang nunggu ayah belum punya uang atau jika belum ada uang bisa dijanjikan lagi minggu depan.

Janji dari pemimpin membangkitkan harapan. Dan harapan satu-satunya harta berharga yang dimiliki kaum pinggiran.

Saya masih punya sedikit stok keyakinan bahwa Bupati tidak akan ingkar. Bupati tak ingin mengecewakan UMKM. Bupati masih punya nurani dan niat baik. Akan tetapi niat baik saja tidak cukup, maka harus diimbangi dengan panglima-panglima bertangan besi di bawahnya.

Rakyat bisa melihat kedepan sampai perhelatan akbar 2024. Apakah program-programnya mampu menjadi solusi, atau hanya lipstik dan aksesori.

Janji yang sudah tercatat dalam prasasti digital tercatat sebagai fakta sejarah. Ia akan menjadi alat konfrontasi etis yang takkan berkesudahan. Dari sejarah itu pula tertulis catatan dan akan dibaca oleh generasi berikutnya, bahwa pernah terjadi pertempuran dimana kejujuran memilih takluk dan kalah pada liarnya pengkhianatan.

Saya menyentil tangan-tangan Bupati agar sejalan tunaikan janji. Sebab kalau janji-janji itu tidak ditunaikan, maka pejabat itu tidak hanya cacat integritas. Lebih dari itu bisa dikatakan defisit moralitas.

Minggu lalu saya menerima kiriman pesan suara dari seorang aktifis dan teman dekat. Pesan suara itu berasal dari salah seorang yang mengaku orangnya Bupati. Saya tidak punya pemahaman tentang status orang ini sebagai apa.

Tenaga ahli bukan…. Asisten tenaga ahli bukan… Kontraktor juga bukan….

Kata teman di sebelah berbisik. ” Itu seperti Kadis segala urusan,” Lalu saya menjawab tapi dia kan bukan ASN? ” Ya lebih tepatnya Broker atau Makelar,” ujar temen saya.

Dalam pesan suara itu, dia membawa-bawa nama Bupati, dia sedang mengklarifikasi soal pemberitaan tentang seragam gratis.

Begini isi pesannya.”Semua punya kepentingan, Bupati punya kepentingan baik. Kenapa waktu itu bupati menyampaikan ini adalah upaya pemberdayaan “betul”, namun itu tidak ada di dalam aturan, di dalam kontrak itu tidak disebutkan bahwa itu adalah pemberdayaan. Yang ada di dalam kontrak pekerjaan itu adalah dua minggu dan data dapodik muncul jauh setelah pendaftaran siswa baru.

Begitulah seolah rencana kerja dan misi baik Bupati dikacaukan oleh orang-orang  yang terindikasi makelar dibawahnya, tangan besi seolah menjadi tangan palsu yang tak berdaya. Dia tidak paham bahwa dibalik setiap janji yang terucap, konsekuensi dimasa depan juga tertancap.

Kemudian orang ring satu Bupati ini melanjutkan pesannya. ” Kita yang berada di ring satu Bupati merasa tidak nyaman. Kenapa saya minta untuk duduk bersama, bukan karena kita takut tapi kalau kebablasan, sama kita juga bisa berbuat,” ungkapnya dengan nada kesal.

Sepertinya kehidupan Insan Pers Sumenep kedepan yang kritis menyorot kebijakan kekuasaan, Harus memilih wartawan super bersih, bahkan zero dosa.

Sebab ring satu Bupati ini mulai gusar. Ia tidak paham bahwa berita yang ditulis itu menyangkut kepentingan publik. Sementara dosa wartawan sebagai manusia itu urusan privat. Dia mencoba menghalang-halangi pers.

Akal sehat yang peka terhadap keadilan sosial, sebuah generasi yang harusnya diterima tanpa curiga, begitulah catatan sejarah bergerak.

Opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Sumenep 18 Desember 2022.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *