Opini  

Ketika ‘Soekarno’ Lebih Menggoda dari Marwah Jurnalis. Benarkah?

Wakid Maulana Pengurus Bidang Investigasi, Advokasi Hukum dan Ham DPC PWRI Sumenep

Oleh : Wakid Maulana

(Wartawan sekaligus Pengurus Bidang Investigasi, Advokasi Hukum dan Ham DPC PWRI Sumenep)

Saya tidak tahu mesti memulai tulisan sederhana ini dari apa. Yang jelas, dalam sepekan terakhir ini publik di Kabupaten Sumenep, dikejutkan dengan pemberitaan dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh oknum mantan kepala desa dan kepala desa terhadap dua orang yang mengaku sebagai wartawan.

Disebutkan, kedua wartawan itu tengah melakukan tugas investigasi ke desa. Untuk apa dan seperti apa masih belum diketahui juga sih. Namun, endingnya kedua wartawan itu diduga mendapat perlakuan kasar hingga penganiyaan.

Tentu, perlakuan mantan dan kepala desa terhadap kedua oknum wartawan itu memang tidak dibenarkan. Kendati ada hal yang belum terungkap secara terang benderang di sini dari pihak desa. Sebab, hukum wajib berjalan sesuai dengan alurnya. Jangan sampai seperti pisau. Tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Setelah mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari mantan dan kepala desa, kasus ini pun bergulir ke Mapolres Sumenep.

Akibatnya, banyak wartawan yang merasa empati sehingga meski tidak pernah bertemu dengan kedua wartawan yang mendapat penganiayaan itu banyak yang membantu menaikkan berita.

Tak hanya itu, di berbagai sudut trotoar dan warung kopi juga banyak yang bertanya seperti siapa rupa kedua wartawan yang mendapat perlakuan kekerasan itu.

Sebagai wartawan baru, wajar mereka yang sudah senior saja tanya kepada yang masih junior. Barangkali, mereka tak pernah bertemu atau bahkan pernah bertemu cuma tidak saling kenal. Mungkin begitu sih.

Dari saking semangatnya mengusut dugaan kekerasan terhadap kedua wartawan itu, aksi solidaritas pun digelar di depan Mapolres Sumenep melibatkan sejumlah kuli tinta lintas organisasi hingga aktivis.

Mereka menyuarakan hal yang sama yakni penegakan hukum. Selain itu, mereka juga menegaskan bahwa kerja jurnalistik dilindungi oleh undang-undang. Sehingga, siapapun yang menghalangi atau bahkan berbuat kekerasan terhadap para kuli tinta maka wajib hukumnya untuk ditindak tegas.

Kasus ini pun kian melebar hingga banyak tokoh dan pegiat jurnalistik lain angkat bicara. Tentu mereka ingin agar kasus ini dikawal dengan baik.

Sebagai konsekuensinya pihak kepolisian pun harus bergerak cepat jika ingin kasus ingin tidak begitu ramai di berbagai media online.

Tak berselang lama, Polres Sumenep akhirnya menangkap kedua pelaku dugaan penganiayaan. Iya meski jujur, tidak ada foto lengkap saat penangkapan. Makanya, sebagian wartawan yang lain masih sanksi menaikkan berita yang bersumber dari keterangan tertulis pihak kepolisian itu.

Dari sini, kecurigaan sejumlah wartawan mulai ada. Pertama, tak ada gambar kedua pelaku dalam berita yang tayang di sejumlah media online hingga keterangan pihak polisi. Kedua, ada kabar di beberapa grup terkait pengkondisian dalam kasus dugaan penganiayaan itu, meski belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Tak butuh waktu lama, kabar soal damai antara kedua belah pihak itu pun mencuat kembali. Bahkan sudah menjadi rahasia umum. Sampai di sini masih aman. Karena, menjadi pemaaf itu memang yang dianjurkan oleh agama terlebih di bulan puasa seperti sekarang.

Yang ironis dikabarkan juga bahwa kedua wartawan itu telah menerima uang damai dari mantan dan kepala desa yang sebelumnya berperang habis-habisan bak cerita Bharatayudha dalam serial pewayangan. Jumlahnya, diduga mencapai Rp 150 juta.

Jika hal ini benar. Maka habis lah riwayat para kuli tinta di Kabupaten Sumenep. Oleh sebab itu, polemik ini harus diungkap dengan terbuka ke publik.

Dalam hal ini, kedua oknum wartawan, mantan dan kepala desa serta APH harus mengundang seluruh jurnalis di Kabupaten Sumenep untuk menggelar jumpa pers.

Selain itu, jika kabar ini juga benar maka kedua wartawan itu harus menulis permintaan maaf kepada seluruh jurnalis dan aktivis yang telah turun gunung ikut aksi beberapa waktu lalu.

Satu lagi, bagi Anda pelaku media. Entah media online atau yang lain jangan mudah merekrut wartawan apalagi hanya dagang id card. Khawatir disalahgunakan.

Belakangan, memang banyak ditemukan oknum yang mengaku wartawan turun ke desa-desa. Padahal, mereka tak ubahnya seperti wartawan Muntaber (muncul tanpa berita). **

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *