Opini  

Legalisasi Seragam Macan (LSM)

                        (Oleh : Fauzi As)

Lembar XIV

TROL – Nafsu yang mendominasi melampaui kecerdasan membuat nurani buta, regulasi yang diciptakan sebagai alat distribusi keadilan justru menyuguhkan aroma kepentingan.

“Jalan dan umpan dipersiapkan menuju kandang macan”

Apakah UMKM hanya alat penyerap anggaran?

Atau sekedar objek dokumentasi laporan?

Tentu jawabannya tidak, UMKM harus mendapatkan keadilan, meski saya menerima bisikan dari teman sebelah bahwa, bisa saja bupati belum menerima data yang utuh, sejenak muncul dalam pikiran, mengapa UMKM dibegitukan,..

Seragam SD hasil pabrikan, seragam ASN di mulut macan.

Data dalam tulisan ini berawal dari risaunya beberapa teman UMKM pada awal tahun 2022 lalu, mereka mengajak saya untuk ikut protes terhadap Perbup Nomor 81 Tahun 2021, isi didalam Perbup itu sudah di prediksi akan memicu polemik, karena didalamnya mencantumkan satu design motif batik milik perorangan.

Waktu itu saya belum tahu motif batik Tera’ Bulan itu milik siapa, lalu menjelma sebagai motif  ciri khas Sumenep dasarnya apa,
kemudian teman menjelaskan  “itu milik salah-satu Brand di kabupaten ini” jawabnya dengan nada serius, tapi pada waktu itu saya belum tertarik untuk berbicara panjang.

Selain saya belum membaca Perbup dengan utuh, dan menghindari konflik kepentingan.

Saya hanya menyampaikan pada UMKM  “bupati tidak mungkin ceroboh dalam menerbitkan Perbup,” sebab itu menyangkut hajat hidup orang banyak, yaitu nasib pengrajin batik para penjahit dan keluarganya.

Saya berusaha berpikir positif bahwa Bupati sedang berupaya menunaikan janji politiknya, itu patut kita apresiasi, “dalam pikiran saya pada waktu itu.

Toh sudah berdasarkan Perbub 81 2021, dan Surat Edaran Bupati, Nomor : 065/3127/435/032.2/2021. Tentang Implementasi Peraturan Bupati Sumenep, Nomor 81 2021, Tentang Pakaian Dinas Aparatur Sipil Negara.

Setelah sekian bulan melakukan pengamatan gelagat tidak beres mulai terasa, yaitu ketika ada sejumlah ASN, yang bingung mencari tempat pemesanan batik motif Tera’ Bulan, saya pun bertanya loh bukankah itu anggaran dari APBD?  “bukan mas, ini kita membeli pakai uang sendiri sendiri” jawab salah-satu ASN pada waktu itu.

Dengan rasa penasaran saya mencoba membaca kembali Perbup 81 itu, khawatir saya salah baca atau lupa, sebab pada BAB VI Pasal 29, berbunyi :

Pengadaan Pakaian Dinas dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sumenep di masing-masing perangkat daerah atau Perangkat  Daerah yang ditunjuk sesuai Kewenangannya.

Meskipun Perbup itu kita pandang tidak fair, sayapun masih diam, masak iya pemerintah daerah yang punya divisi hukum canggih-canggih membuat Perbup dengan mencantumkan motif batik yang bukan milik pemerintah?  hal itu berlanjut dengan beberapa orang yang memberikan data-data, dan saya pun masih berpikir objektif gak apa-apalah, ASN beli batik sendiri, toh mereka juga dibayar oleh negara, “dalam hati saya tahun lalu”.

Namun kejengkelan mulai muncul ketika ada beberapa UMKM yang mengeluhkan tentang monopoli keuntungan, seperti yang disampaikan oleh “TN” ia menjelaskan bahwa untuk motif Tera’ Bulan harga Rp 500.000,-  dipotong pemilik Design Rp 50.000 dan Rp 50.000 jatah LSM, sayapun mulai berpikir karena design motif di legalkan dalam Perbup, dan di pertegas oleh Surat Edaran, maka ada benarnya kalau tulisan saya ini saya beri judul,

“Legalisasi Seragam Macan (LSM)”

Bukankah tabiat macan memangsa mahluk yang lemah? ya..kira-kira demikian.

Berlanjut pada SS salah satu pengrajin batik berinisial “TI”  yang juga mengerjakan motif Tera’ Bulan, ia mengaku terakhir mendapat orderan, batik kecamatan sebanyak 61 pcs, dengan harga Rp 450.000
ia merinci biaya setoran pajak motif batik Tera’  Bulan, harga 450 ribu, pajak 50 ribu, PPh 12 ribu, komisi ke pak “DD” 50 ribu, dikurangi pajak dll sisa total 325 ribu, haaaa “ungkapnya”.

Untuk memastikan hal itu, pada hari Senin 16 Januari saya bersama crew Mamimuda mendatangi beberapa tempat, tiga orang wartawan pun ikut menemani , sebelum berangkat saya menyampaikan, tolong HP dan kamera disiapkan untuk merekam, jangan sampai kita dibilang fitnah dan mengada-ada.

Setelah sampai di tempat tujuan, informasi makin melebar, yaitu tentang koperasi dan seragam batik ASN berwarna merah-hitam bahkan ada pengrajin yang menyampaikan, “ini bukan pemberdayaan UMKM tetapi perbudakan”
ungkap seorang pengrajin berinisial “FR”, ya bayangkan saja pengrajin yang mengeluarkan keringat hanya punya pendapatan sekitar 8 ribu dan 12 ribu perlembar, bahkan pengrajin lain mengaku kalau saya bisa setor 10 helai kain saja tiap minggunya saya hanya punya keuntungan sekitar 170 ribu,-.

Dalam diskusi itu dijelaskan ada pengusaha kuat yang melakukan pola-pola intimidatif terhadap pengrajin, bahkan dari saking kesalnya salah-satu pengurus koperasi yang baru didirikan itu sudah keluar memundurkan diri.

Untuk seragam batik ASN merah-hitam rincian data pengrajin sebagai berikut
1. Harga batik dari pengrajin 135 ribu- dipotong untuk kas  5 ribu,- hitungan  keuntungan versi pengrajin hanya sekitar 12 ribu –

2. Oknum koperasi menjual batik ke ASN dengan harga 190 ribu,- untuk perempuan, dan 250 ribu,-  untuk laki-laki plus Blangkon.

Pertanyaannya siapakah pemilik keuntungan 55 ribu,- dalam setiap lembar seragam batik ASN.?

Benarkah ini pemberdayaan terhadap UMKM..?

Benarkah ada Jatah Oknum LSM..?

Lalu mengapa ASN yang di wajibkan membeli…?

Kisah seragam segelap warna hitam, cahaya bulan pun tertutup awan, UMKM meratap pedihnya janji, dalam Perbub dan seragam SD.

Lalu percakapan dengan X pengurus koperasi dilanjutkan, teman saya yang bernama Rudi bertanya, Siapa ketua koprrasinya mas..?  Ia lalu menjawab “JD” mas kakak dari “DD”  “ungkapnya”  dalam pikiran saya, ruwet ini seandainya kepanjangan UMKM ini saya maknai sebagai  “Usaha Milik Keluarga Macan.”

Namun saya masih punya sedikit harapan bahwa bupati Sumenep tetap akan berkomitmen dengan pemberdayaan UMKM, sebab UMKM merupakan pilar terpenting penunjang ekonomi nasional. Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah UMKM nasional pada Mei 2021 saja mencapai 64,2 juta,
dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 61,07% atau setara nilai 8.573,89 triliun rupiah.

Yang jelas birokrat harus berbenah, membuka ruang pendapat dan masukan, jika pejabat minyimpan ego, yang kritis dianggap musuh, dilawan tanpa diasuh, maka tunggulah ledakan bom waktu yang serpihannya akan menyiksa jiwa para pendosa.

Sumenep 18 Januari 2023

Fauzi As Pemegang Kartus As

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *