TROL, Bojonegoro – Proyek pelebaran Jembatan Jatiblimbing-Sumberjokidul 2 di Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur tampaknya menjadi bukti nyata lemahnya pengawasan dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) Bina Marga dan Penataan Ruang (BMPR) Kabupaten Bojonegoro.
Menjelang tutup anggaran tahun 2024, proyek dengan nilai pagu anggaran sebesar Rp1,8 miliar tersebut terbengkalai, tanpa kejelasan kapan akan dilanjutkan atau diselesaikan. Konstruksi yang seharusnya membawa manfaat bagi masyarakat justru menjadi masalah baru karena jembatan sudah dibongkar, namun pekerjaan tidak kunjung dilakukan.
Saat tim media mendatangi lokasi, jembatan yang sudah dibongkar terlihat terbengkalai tanpa ada tanda-tanda kelanjutan pekerjaan. Tidak ada alat berat atau pekerja yang beraktivitas, hanya puing-puing sisa pembongkaran yang dibiarkan begitu saja.
Situasi ini tidak hanya menimbulkan keresahan di kalangan warga, tetapi juga memicu pertanyaan besar terkait pengawasan dan tanggung jawab Dinas PU BMPR yang seharusnya memastikan proyek ini berjalan sesuai rencana.
Lemahnya pengawasan dari dinas terkait jelas menjadi faktor utama dalam keterlambatan penyelesaian proyek ini. Jika pihak dinas melakukan pengawasan secara ketat, setiap tahapan pekerjaan seharusnya bisa diawasi dan dievaluasi tepat waktu.
Namun, yang terjadi di lapangan menunjukkan sebaliknya. Pejabat yang berwenang terkesan abai dan lebih memilih untuk menghindar ketika dimintai keterangan oleh media. Hal ini menambah kecurigaan bahwa ada ketidakberesan dalam manajemen proyek, yang seharusnya bisa dicegah jika ada pengawasan yang kuat.
Kepala Desa Jatiblimbing, Tedy Fery Sandriya, mengungkapkan, keprihatinannya atas situasi ini. Sebagai pemimpin desa, ia merasa terbebani karena harus menjelaskan kepada warga yang terganggu aktivitasnya akibat jembatan yang tidak kunjung selesai.
“Saya menekan ke CV karena itu akses utama ke Balai Desa, tolonglah dipercepat. CV-nya bukan orang Bojonegoro, milik orang luar provinsi,” ungkapnya, Sabtu (19/10).
Lambatnya penanganan proyek ini bukan hanya mencerminkan masalah teknis di lapangan, tetapi juga menunjukkan adanya kegagalan sistemik dalam pengawasan proyek. Keterlibatan CV Karya Ragil Putra, pemenang lelang yang berasal dari luar daerah, seharusnya menjadi perhatian khusus bagi dinas terkait. Mengingat pentingnya infrastruktur ini bagi warga lokal, dinas seharusnya memastikan bahwa kontraktor yang dipilih memiliki kapasitas dan komitmen yang jelas dalam menyelesaikan proyek sesuai dengan jadwal.
Dalam proyek ini, pagu anggaran sebesar Rp1.817.985.000,00 yang berasal dari APBD Bojonegoro dimenangkan oleh CV Karya Ragil Putra dengan nilai tawar Rp1.454.343.662,42. Namun, hingga kini, pekerjaan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dengan hanya dua bulan tersisa hingga tutup anggaran, ada kekhawatiran besar bahwa proyek ini akan mangkrak, menambah daftar panjang proyek gagal yang disebabkan oleh lemahnya pengawasan dari dinas terkait.
Upaya media untuk mengonfirmasi hal ini kepada Retno Wulandari Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Penataan Ruang Kabupaten Bojonegoro berakhir dengan kekecewaan, saat dikonfirmasi via WhatsApp dirinya bungkam tidak menjawab.
Pejabat berwenang yang lain juga tampak menghindar dan berbelit-belit ketika dimintai keterangan, menimbulkan kesan bahwa mereka tidak siap atau tidak mau bertanggung jawab atas keterlambatan proyek. Hal ini menambah kuat dugaan bahwa lemahnya pengawasan internal dinas yang telah berkontribusi besar pada situasi ini.
Pengawasan yang buruk tidak hanya berdampak pada keterlambatan penyelesaian proyek, tetapi juga mempengaruhi kualitas pekerjaan yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat.
Dalam kasus Jembatan Jatiblimbing ini, kegagalan untuk memastikan kelanjutan pekerjaan secara tepat waktu bisa berujung pada terputusnya akses utama warga ke Balai Desa dan wilayah sekitar, yang pada gilirannya akan memengaruhi perekonomian lokal.
Kepala Desa Jatiblimbing itu juga mengaku stres dan khawatir, jika pembangunan jembatan tidak selesai dan mangkrak, otomatis dirinya yang bertanggung jawab kepada warga.
“Apalagi jembatan itu sudah dibongkar, terus bagaimana tanggung jawabnya jika tidak dikerjakan atau putus kontrak. Bagaimana tanggung jawab ke masyarakat,” keluhnya.
Tanggapan ini menunjukkan betapa besar tekanan yang dirasakan oleh pihak desa karena kelalaian pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab.
Lemahnya pengawasan dari Dinas PU Bina Marga dan Penataan Ruang Kabupaten Bojonegoro tidak hanya membuat proyek ini terancam gagal, tetapi juga menunjukkan kurangnya komitmen dalam memastikan bahwa setiap proyek yang didanai oleh APBD memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Jika dinas terkait tidak segera mengambil tindakan untuk memperbaiki situasi ini, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah akan semakin menurun.
Sebagai penanggung jawab pengawasan infrastruktur, Dinas PU Bina Marga dan Penataan Ruang Kabupaten Bojonegoro harus segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proyek ini. Tindakan tegas diperlukan agar kontraktor segera menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak, atau jika perlu, dilakukan langkah hukum untuk memastikan hak-hak masyarakat tetap terlindungi.
Tanpa pengawasan yang ketat dan profesionalisme dalam pelaksanaan proyek-proyek publik, kasus seperti Jembatan Jatiblimbing ini akan terus berulang dan masyarakat yang seharusnya menerima manfaat justru menjadi korban dari sistem yang tidak berjalan dengan baik. (adi)